Awal April 2013 tepatnya tanggal 6 April lalu, FMIPA UKI Tomohon (YPTK) kembali meluluskan sekitar 42 orang sarjana yang terdiri atas : 39 orang lulusan jurusan Farmasi; 2 orang lulusan jurusan Biologi; dan 1 orang dari jurusan Matematia/Statistika. Rektor UKIT Pdt.DR.R.A.D. Siwu dalam acara pelepasan wisudawan UKIT 2013 di Manado Convention Centre (MCC) Manado (6/4), mengatakan bahwa dalam menghadapi pasar kerja yang semakin kompetitif, maka para lulusan diharapkan dapat mengembangkan ilmu dan keahlian yang diperoleh selama duduk dibangku kuliah agar dapat memberi nilai tambah sebagai seorang Sarjana (S1). Disamping itu para lulusan dapat menunjukkan pribadi-pribadi yang mampu berpikir positif sehingga akan memberi dampak positif juga bagi orang lain. Demikian juga para lulusan hendaknya memiliki integritas yang tinggi agar mampu bersaing dalam dunia kerja, hal ini juga yang ditegaskan oleh Dekan FMIPA UKIT (YPTK) Sonny D. Untu,SSi,MSi. Selamat bagi wisudawan FMIPA UKIT....,'small is beautiful'...!!!
||Sumber informasi ilmu Biologi, Ekologi dan Lingkungan serta problem aktual lingkungan dan pembangunan||
Rubrik
- ARTIKEL (3)
- ARTIKEL EKOLOGI PERAIRAN (5)
- BIOLOGI LINGKUNGAN (1)
- BUMI RUMAH KITA (3)
- DAMPAK LINGKUNGAN (4)
- DANAU TONDANO (4)
- EFEK RUMAH KACA (2)
- EKOSISTEM DANAU (4)
- EUTROFIKASI (3)
- GLOBAL WARMING (3)
- KEBIJAKAN LINGKUNGAN (3)
- KONDISI LINGKUNGAN (3)
- LAPORAN RISET (1)
- MASALAH LINGKUNGAN (4)
- OUR EARTH (2)
- REFLEKSI EKOLOGI (4)
- SPESIS (1)
- STRATEGI PELESTARIAN (2)
- TAKSONOMI (1)
- WARTA (6)
Minggu, 05 Mei 2013
Minggu, 17 Februari 2013
Banjir-Longsor dan Hujan Berkat
Sebuah Refleksi Ekoteologis....
Namun, pagi hari ketika selimut malam terlepas, dan para penganut agama Kristen bersiap-siap ke Gereja, kabar bencana banjir dan longsor mulai tersiar dari BBM ke BBM, dari SMS ke SMS... Hampir di setiap sudut Kota Manado tergenang banjir. Jalur jalan Tomohon-Manado putus karena longsor. Di Kota Tondano, rumah-rumah penduduk di outlet Danau Tondano berikut persawahannya terendam air. Lebih dari itu harta dan nyawa pun melayang akibat banjir dan longsor. Walhasil, ungkapan "hujan berkat" tak lagi meluncur. Walaupun sebenarnya hujan itu tetaplah berkat bagi manusia. Lho???
Yah, hujan adalah peristiwa alami dari siklus air (siklus hidrologi) yang terjadi di alam raya ini. Bayangkan jika bumi tak terbasahi oleh air hujan. Dimana padi di sawah berharap "minum"nya. Bayangkan jika tiada hujan pasti kita berhadapan dengan kekeringan. Jadi, hujan tidak bisa menjadi alamat tuduhan malapetaka ini.
Lalu, jika hujan tak bisa kita "kambing hitamkan"... kepada siapa lagi gugatan ini akan dialamatkan ?
Hujan dan panas adalah dua peristiwa yang silih berganti. Adalah juga dua peristiwa yang proses saling bergantinya kita kehendaki. disuatu saat kita butuh hujan, di saat yang lain kita butuh panas. Ritme alam yang pergantiannya sangat teratur di masa lalu. Namun di zaman ini, ritme dan frekuensi serta volumenya tidak menentu.
Jika diantara keduanya datang berlebih, maka kita kan menikmati masalah. Tapi, bukan hujan atau panas (yang berlebih), yang harus disalahkan. Jikapun datangnya berlebih, itu karena ulah manusia !
Hujan, secara alami ketika jatuh, sejatinya, ditampung oleh daerah-daerah resapan air yang biasanya diperankan oleh hutan-hutan. Kehadiran hutan pun menghambat pengikisan tanah (erosi) dan mencegah berubahnya struktur ikatan tanah yang dapat berakibat longsor.
Jadi, sadarlah kita betapa besar fungsi hutan bagi keseimbangan hidup ekosistem atau sistem alamiah. Hutan sebagaimana juga hujan adalah BERKAT. Namun, hutan kita kini semakin lenyap. Deforestasi terjadi dimana-mana. Hutan alam kini berubah menjadi lahan pertanian, atau ditransfer menjadi hutan beton alias perumahan. Jadinya, daerah tangkapan air (catchman area) menjadi berkurang dan tak mampu lagi menampung air hujan, apalagi dalam jumlah yang besar. Maka terjadilah banjir dan tanah longsor dimana-mana.
Kalau demikian maka, "hutan berkat" yang harusnya mengatur "hujan berkat" akan menjadi masalah bagi kita, ketika kita tak mampu menjaganya.... dibutuhkan kearifan ekologis.
Lalu, jika sudah begini, apa yang bisa dilakukan ?
Butuh bertahun-tahun untuk melakukan restorasi ekosistem hutan namun itu tetap menjadi pilihan jangka panjang, paling tidak untuk anak cucu kita. Meskipun sebagian dari mereka telah menjadi korban kekinian. Yang paling dekat adalah melakukan tindakan-tindakan antisipatif, jangan-jangan bencana itu datang lagi. Paling tidak meminimalisir segala potensi masalah. Daerah rawan longsor ataupun rawan banjir seperti di daerah pinggiran sungai, yang tidak layak huni dan beresiko harus dideteksi secara utuh. Tentu saja dengan persiapan relokasi pemukiman yang lebih aman. Meskipun sulit dan mahal namun ini adalah salah satu alternatif.
Hari ini kita berduka dan turut merasakan apa yang dialami oleh saudara - saudara kita. Namun kita tentu saja tak ingin ada korban lagi di hari mendatang. Hari ini kita pasti berdoa untuk pemulihan alam, kita pun pasti akan berdiakonia untuk para korban. Tapi kita pun harus melakukan sesuatu agar kita tidak mejadi kambing hitam di waktu yang akan datang.....Karena kita tak bisa "mengkambinghitamkan" hujan yang tetap adalah berkat, apalahi hutan yang juga adalah berkat. Kekuasaan kitalah terhadap alam yang layak dikambinghitamkan, yah dosa kita terhadap lingkungan.... dosa kita yang tak mampu menjaga keseimbangan berkat Tuhan.
Pray for Sulut, Do Something for Sulut.... (Tondano, 17 Februari 2013)
Hujan mengguyur bumi Nyiur melambai sejak Sabtu (16/2) tiada henti, meski malam telah menyelimuti dusun-dusun kecil. Seperti biasa, orang Manado masih bisa bertutur penuh iman, " ini hujan berkat kwa...". Sebuah ungkapan yang spontan meluncur jika orang Manado yang mayoritas Kristen itu merespon jatuhnya rintik-rintik air hujan di buminya.
Namun, pagi hari ketika selimut malam terlepas, dan para penganut agama Kristen bersiap-siap ke Gereja, kabar bencana banjir dan longsor mulai tersiar dari BBM ke BBM, dari SMS ke SMS... Hampir di setiap sudut Kota Manado tergenang banjir. Jalur jalan Tomohon-Manado putus karena longsor. Di Kota Tondano, rumah-rumah penduduk di outlet Danau Tondano berikut persawahannya terendam air. Lebih dari itu harta dan nyawa pun melayang akibat banjir dan longsor. Walhasil, ungkapan "hujan berkat" tak lagi meluncur. Walaupun sebenarnya hujan itu tetaplah berkat bagi manusia. Lho???
Yah, hujan adalah peristiwa alami dari siklus air (siklus hidrologi) yang terjadi di alam raya ini. Bayangkan jika bumi tak terbasahi oleh air hujan. Dimana padi di sawah berharap "minum"nya. Bayangkan jika tiada hujan pasti kita berhadapan dengan kekeringan. Jadi, hujan tidak bisa menjadi alamat tuduhan malapetaka ini.
Lalu, jika hujan tak bisa kita "kambing hitamkan"... kepada siapa lagi gugatan ini akan dialamatkan ?
Hujan dan panas adalah dua peristiwa yang silih berganti. Adalah juga dua peristiwa yang proses saling bergantinya kita kehendaki. disuatu saat kita butuh hujan, di saat yang lain kita butuh panas. Ritme alam yang pergantiannya sangat teratur di masa lalu. Namun di zaman ini, ritme dan frekuensi serta volumenya tidak menentu.
Jika diantara keduanya datang berlebih, maka kita kan menikmati masalah. Tapi, bukan hujan atau panas (yang berlebih), yang harus disalahkan. Jikapun datangnya berlebih, itu karena ulah manusia !
Hujan, secara alami ketika jatuh, sejatinya, ditampung oleh daerah-daerah resapan air yang biasanya diperankan oleh hutan-hutan. Kehadiran hutan pun menghambat pengikisan tanah (erosi) dan mencegah berubahnya struktur ikatan tanah yang dapat berakibat longsor.
Jadi, sadarlah kita betapa besar fungsi hutan bagi keseimbangan hidup ekosistem atau sistem alamiah. Hutan sebagaimana juga hujan adalah BERKAT. Namun, hutan kita kini semakin lenyap. Deforestasi terjadi dimana-mana. Hutan alam kini berubah menjadi lahan pertanian, atau ditransfer menjadi hutan beton alias perumahan. Jadinya, daerah tangkapan air (catchman area) menjadi berkurang dan tak mampu lagi menampung air hujan, apalagi dalam jumlah yang besar. Maka terjadilah banjir dan tanah longsor dimana-mana.
Kalau demikian maka, "hutan berkat" yang harusnya mengatur "hujan berkat" akan menjadi masalah bagi kita, ketika kita tak mampu menjaganya.... dibutuhkan kearifan ekologis.
Lalu, jika sudah begini, apa yang bisa dilakukan ?
Butuh bertahun-tahun untuk melakukan restorasi ekosistem hutan namun itu tetap menjadi pilihan jangka panjang, paling tidak untuk anak cucu kita. Meskipun sebagian dari mereka telah menjadi korban kekinian. Yang paling dekat adalah melakukan tindakan-tindakan antisipatif, jangan-jangan bencana itu datang lagi. Paling tidak meminimalisir segala potensi masalah. Daerah rawan longsor ataupun rawan banjir seperti di daerah pinggiran sungai, yang tidak layak huni dan beresiko harus dideteksi secara utuh. Tentu saja dengan persiapan relokasi pemukiman yang lebih aman. Meskipun sulit dan mahal namun ini adalah salah satu alternatif.
Hari ini kita berduka dan turut merasakan apa yang dialami oleh saudara - saudara kita. Namun kita tentu saja tak ingin ada korban lagi di hari mendatang. Hari ini kita pasti berdoa untuk pemulihan alam, kita pun pasti akan berdiakonia untuk para korban. Tapi kita pun harus melakukan sesuatu agar kita tidak mejadi kambing hitam di waktu yang akan datang.....Karena kita tak bisa "mengkambinghitamkan" hujan yang tetap adalah berkat, apalahi hutan yang juga adalah berkat. Kekuasaan kitalah terhadap alam yang layak dikambinghitamkan, yah dosa kita terhadap lingkungan.... dosa kita yang tak mampu menjaga keseimbangan berkat Tuhan.
Pray for Sulut, Do Something for Sulut.... (Tondano, 17 Februari 2013)
Kamis, 14 Februari 2013
Peran Pemkab dan DPRD dalam Pelestarian Danau Tondano
(Angg FPG DPRD Kab Minahasa 2009-2014; Ketua Badan Legislasi DPRD
Kab Minahasa)
§ Introduksi
Danau Tondano disadari merupakan
bagian vital kehidupan dan penghidupan masyarakat, bukan saja di Kabupaten
Minahasa tetapi di Sulawesi Utara pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh
mulitifungsi Danau Tondano yang memegang peran vital dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut meliputi: sebagai sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai
nelayan, pengairan bagi pertanian, objek wisata, tempat cuci-mandi, tempat
berolahraga, sumber gizi masyarakat, sumber energi listrik melalui PLTA juga
sebagai sumber air minum bagi sebagian masyarakat di Kota Manado melalui
pengolah PDAM / PT Air Manado. Bagi kalangan ilmuwan, Danau Tondano
merupakan objek penelitian.
Dengan fungsi-fungsi yang vital
tersebut, maka adalah wajar jika banyak pihak memberikan reaksi ketika
menyaksikan Danau Tondano mengalami berbagai masalah lingkungan. Dimaklumi
bahwa sebagai warga masyarakat, pasti tidak menghendaki Danau Sumber kehidupan
dan berkat akan kehilangan fungsinya.
Masalah – masalah yang dihadapi
Danau Tondano, sebenarnya membutuhkan perhatian dari banyak pihak yang memangku
kepentingan, namun pada kesempatan ini akan coba dibahas sejauh mana peran
pemerintah selaku pihak eksekutif dan DPRD Kabupaten Minahasa selaku pihak
legislatif.
PEMUDA GEREJA DAN LINGKUNGAN HIDUP
(materi PKPG Pemuda GMIM , Tondano 2012)
Oleh:
Meidy Y. Tinangon, M.Si.
========================
Introduksi:
“menggeser paradigma, merajut aksi”
A
|
da sebuah kisah tentang Kapal Titanic.
Kapal yang besar dan megah di masanya. Kapal yang dianggap paling besar, paling
kuat, paling megah, paling hebat ! Tak seorangpun meragukan kemampuan dari
kapal tersebut. Tak ada yang berpikiran bahwa kapal yang hebat tersebut suatu
saat akan tenggelam. Tak ada yang memusingkan diri dengan hal tersebut. Dalam perjalanan tersebut, orang – orang
sibuk dengan kesenangan bahkan pesta. Namun apa yang terjadi ? Suatu saat kapal
mengalami masalah akibat bongkahan es di laut, kapal sudah mulai tenggelam
perlahan namun orang masih sibuk dengan urusan kesenangan masing-masing. Hingga
akhirnya kapal pun tenggelam dengan korban jiwa yang besar.
Dalam hubungan
dengan topik bahasan kita, pandangan orang-orang terhadap kapal Titanic ini
sama dengan cara pandang kita terhadap bumi atau lingkungan hidup kita.
Manusia telah
sekian lama menganggap bumi ini sedemikian tangguh dengan segala proses
alamnya. Kita merasa bumi ini demikian besar dan begitu jauh dari kesan
kerapuhan. Kita merasa bumi sangat mampu menampung sejumlah besar manusia dan
kita menganggap bumi kita demikian hebatnya, dan karenanya tak akan mungkin
“tenggelam” seperti keyakinan para petinggi dan orang-orang pintar dalam kisah
kapal Titanic di atas.
Padahal paradigma
tersebut merupakan paradigma yang kurang tepat. Bumi kita memang besar dan
luas, namun dia punya keterbatasan. Bumi kita punya “limit” yang mampu
didukungnya. Limit tersebut kemudian dikenal sebagai batas toleransi dan kemampuan lingkungan mendukung segala perubahan
dalam lingkungannya dikenal dengan daya
dukung lingkungan (carrying capacity). Melampaui limit tersebut, bumi (lingkungan
hidup) kita akan terganggu keseimbangannya (homeostatis).
Karenanya, bumi
kita membutuhkan sebuah tindakan pemilharaan.
Namun sebuah tindakan itu membutuhkan perubahan paradigma. Sikap dan
tindakan kita terhadap lingkungan hidup akan sangat tergantung pada paradigma
yang terbangun dalam pikiran kita. Semoga perubahan paradigma itu akan terwujud
atau makin mewujud disini untuk sebuah rajutan aksi penyelamatan bumi... Sebuah
peran pelayanan bagi keutuhan ciptaan (integrity
of creation).
Kamis, 07 Februari 2013
Program Studi Biologi Kembali Hasilkan Sarjana (SSi.)
Akhir tahun 2012 Program Studi Biologi (Biologi Lingkungan) MIPA UKI Tomohon (YPTK) kembali menelorkan 2 orang lulusan/sarjana (S1) sebagai implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Ketika menyandang gelar kesarjanaan (SSi.) / Sarjana Biologi Lingkungan, diharapkan nantinya mampu bersaing dalam dunia kerja yang saat ini semakin kompetitif. Bagi yang sudah bekerja, diharapkan dapat menggunakan 'skill' (sebagi seorang Sarjana Biologi) untuk meningkatkan kinerja & kreativitas agar lebih bermutu dan lebih berdayaguna. Good Luck....!!!
Rabu, 06 Februari 2013
Visitasi Jurusan Farmasi MIPA UKIT YPTK
Fakultas MIPA UKI Tomohon YPTK Program Studi Farmasi telah divisitasi oleh BAN PT (Asesor : Prof.DR.Karsono,Apt & DR.Sumantri,MSc.Apt) pada tanggal 9 s/d 11 Desember 2012. Hal tersebut dibuktikan dengan Surat Pernyataan Mengenai Pelaksanaan Asesmen Lapangan, yang ditandatangani oleh pihak Asesor dan oleh pihak MIPA UKIT yakni oleh S.D.Untu,SSi,MSi (selaku dekan/pimpinan unit pengelola program studi) dan Novel S.Kojong,SSi,MSi,Apt. (selaku Ketua Program Studi farmasi). Untuk 2 program studi lainnya yakni Program Studi Biologi (Biologi Lingkungan) dan Program Studi Matematika (Statistika), sementara menunggu jadwal kunjungan visitasi.
Selasa, 05 Februari 2013
EUTROFIKASI: Problema Ekologis pada Ekosistem Danau
juga terpublikasi 16 Agustus 2011 di
by. Meidy Y. Tinangon, M.Si.
Danau
adalah salah satu ekosistem enting karena fungsinya bagi
masyarakat.Diantaranya danau sering dimanfaatkan sebagai: sumber air
minum , penangkapan budidaya ikan, tempat cuci mandi, objek wisata dan
lain sebagainya. Namun, seperti halnya ekosistem lainnya di muka bumi
ini, danau tetap saja tidak bebas dari gangguan serta permasalahan
ekologis
Diantara masalah yang menarik serta perlu mendapat perhatian serius adalah masalah eutrofikasi (pengkayaan unsur hara). Proses
ini sebenarnya sifatnya agak alami dimana terdapat masukan unsur hara
dalam danau karena peristiwa-peristiwa dalam danau tersebut. Dalam
situasi alami tersebut, maka proses eutrofikasi dapat dikatakan
berlangsung lambat dan dalam keadaan seimbang. Namun menjadi masalah
ketika campur tangan manusia lewat berbagai aktifitas pemanfaatan danau
mulai mempengaruhi ekosistem danau. Proses ini kemudian dikenal sebagai eutrofikasi kultural.
Unsur
hara sangat berperan dalam meningkatnya eutrofikasi. Connell dan
Miller (1995) mengatakan bahwa tubuh air dengan sedikit aliran air,
seperti danau, bendungan, laut tertutup, dan sebagainya, menjadi
eutrofik melalui pengkayaan unsur hara dalam jangka waktu yang lama.
Aktifitas pemanfaatan danau dan ekosistem sekitar untuk berbagai
keperluan, memberi peluang bagi semakin tingginya tingkat eutrofikasi
pada ekosistem danau.
Bahaya dari proses eutrofikasi boleh dikatakan sangat besar dan mengancam keberlanjutan (sustainable) dari
ekosistem tersebut termasuk manusia sebagai pengguna ekosistem danau.
Eutrofikasi bukan hanya samapai pada proses semakin kayanya ekosistem
danau oleh unsur hara, tetapi menyangkut masalah yang lebih luas yaitu
dampak yang ditimbulkan oleh unsur hara yang semakin kaya. Dengan
kondisi unsur hara yang melimpah maka fenomena ekologis seperti blooming ganggang dan kemudian gulma air (aquatic weeds), pendangkalan danau dan masalah deoksigenasi serta penurunan kesehatan danau akan dengan mudah ditemui.
Namun
demikian, karena dampaknya yang tidak secara langsung dirasakan dan
terjadi lewat suatu pproses yang memakan waktu sehinggga eutrofikasi
sering disepelekan dalam program pengendalian dampak lingkungan. Berbeda
dengan masalah pencemaran yang lain yang dapat langsung dirasakan
dampaknya misalnya menyebabkan kematian.
Disadari
bahwa kurangnya perhatian terhadap masalah eutrofikasi, disebabkan
karena informasi tentang eutrofikasi itu sendiri yang kurang di ekspose
pada masyarakat dan pemerintah. Untuk itu maka perlu ada kajian ilmiah
yang nantinya akan mendeskripsikan apa dan bagaimana proses eutrofikasi
tersebut. Nantinya informasi tersebut dapat disampaikan kepada pihak
yang berkompeten.
II. DEFINISI DAN PROSES EUTROFIKASI
Menurut
Connell dan Miller (1995), Eutrofikasi diperikan pertama kali oleh
Weber pada tahun 1907 ketika ia memperkenalkan istilah oligotrofik,
mesotrofik dan eutrofik (Hutchinson, 1969). Istilah ini memerikan proses
eutrofikasi sebagai suatu rangkaian proses dari sebuah danau yang
bersih menjadi berlumpur oleh pengkayaan unsur hara tanaman dan
meningkatnya pertumbuhan tanaman. Sejak saat itu, terdapat banyak
pemerian dan kriteria untuk istilah ini serta pengenalan istilah baru
tersebut semakin berkembang.
OECD telah mencirikan eutrofikasi sebagai “pengkayaan
unsur hara pada air yang menyebabkan rangsangan suatu perubahan yang
simpomatik yang meningkatkan produksi ganggang dan makrofit, memburuknya
perikanan, memburuknya kualitas air dan perubahan simpomatik lainnya
yang tidak dikehendaki serta mengganggu penggunaan air” (Wood, 1975 dalam Connell dan Miller, 1995).
Akumulasi alami dari nutrien dalam danau disebut eutrofikasi alami (natural eutrophication).
Akumulasi nutrien dan erosi alami dapat dengan waktu yang sufisien,
mentransformasi danau kedalam tanah rawa dan kemudian tanah kering,
sebuah proses yang disebut suksesi alami (natural succesion).
Dalam proses ini nutrien inorganikmerangsang pertumbuhan tanaman;
tumbuhan suatu saat mati dan menyumbang sedimen organik kedalam dasar
danau (Chiras, 1988).
Dalam
proses eutrofikasi alamiah, detritus tanaman, garam-garaman, pasir dan
sebagainya dari suatu daerah aliran masuk dalam aliran air dan disimpan
dalam badan air selama waktu geologis. Ini menyebabkan pengkayaan unsur
hara, sedimentasi, pengisian dan peningkatan biomassa (Connell dan
Miller, 1988).
Danau-danau
oligotrofik secara tiba-tiba menjadi lebih kaya atau eutrofik dengan
tertimbunnya zat-zat makanan pada saat mereka menjadi lebih tua. Di alam
eutrofikasi menghasilkan suatu keseimbangan dan ini dapat dilihat
dengan perbedaan susunan komunitas pada tubuh air oligotrofik dan
eutreofik. Pada air eutrofik alami, plankton berlimpah, perkembangan
ganggang merupakan hal yang umum. Terdapat imbangan yang baik pada
bahan-bahan organik baik dalam larutan maupun pada dasarnya. Eutrofikasi
menjadi sebuah masalah jika disebabkan oleh campur tangan manusia,
karena hal-hal yang seperti inilah jangka waktu menjadi berkurang
sehingga keseimbangan secara sehingga keseimbangan secara alami
berkurang (Michael, 1994).
Eutrofikasi
buatan sebagai hasil kegiatan manusia menambah kekurangan oksigen dalam
zone profundal. Jadi ikan yang stenotermal, yang dapat bertahan pada
suhu rendah, hanya hidup dalam danau “miskin”, dimana air di bagian
dalam yang dingin tidak kekurangan oksigen. Jenis-jenis seperti ini
adalah yang pertama kali menghilang di Great Lakes di Amerika serikat.
Organisme rendah (berlawanan dengan ikan) dari zone profundal
beradaptasi untuk tahan terhadap kekurangan oksigen dalam jangka waktu
yang panjang (Odum, 1991).
Diutarakan
juga oleh Conell dan Miller (1988), bahwa kegiatan manusia sangat
mempengaruhi pengkayaan unsur hara dan eutrofikasi. Pada kenyataanya,
dalam waktu 100 tahun terakhir banyak danau yang memperlihatkan
pengkayaan unsur hara sangat cepat yang disebabkan oleh pencemran.
Buangan, seperti limbah rumah tangga, aliran dari bak penampungan
kotoran, beberapa limbah industri, aliran dari perkotaan, aliran dari
pertanian dan pengelolaan hutan, serta limbah hewan mengandung unsur
hara tanaman yang seringkali menyebabkan pengkayaan unsur hara dan
mempercepat eutrofikasi.
Menurut
Michael (1994), pengaruh terbesar eutrofikasi terlihat pada air-air
yang tenang, hasil yang nyata adalah suatu perkembangan ganggang.
Seringkali lapisan ganggang dan kotoran bebek menutupi seluruh permukaan
yang menyebabkan deoksigenasi pada air-air dibawahnya dimana
fotosintesis berhenti disebabkan putusnya pencahayaan oleh lapisan
ganggang. Pada saat ganggang ini mati dan terurai, terjadi penurunan
oksigen yang terurai lebih lanjut.
III. DANAU DAN TINGKAT EUTROFIKASI
Danau
dapat diklasifikasikan berdasarkan produktifitas primernya.
Produktifitas atau kesuburan danau tergantung pada nutrisi yang
diterimanya dari perairan regional, pada usia geologis dan pada
kedalaman. Berdasarkan produktifitas, danau dibagi atas danau oligotrofik dan eutrofik.
Danau oligotrofik biasanya dalam, dengan hipolimnion lebih besar dari
epilimnion, dan mempunyai produktifitas primer rendah. Tanaman di daerah
littoral jarang dan kerapatan plankton rendah, walaupun jumlah jenis
yang ada mungkin tinggi. Danau eutrofik adalah lebih dangkal dan
produktifitas primernya lebih tinggi, vegetasi littoral lebih lebat dan
populasi plankton lebih rapat (Odum, 1971).
Selanjutnya Thohir (1991) dan Soeriaatmaja (1981) mengungkapkan fase-fase perkembangan kehidupan di danau, yang terdiri dari: oligotrofi, mesotrofi, eutrofi dan distrofi. Danau oligotrofi, keadaan
airnya jernih, bahan organik yang dikandung sedikit, kerapatan hewan
dan tumbuhan rendah, suhu air relatif rendah, bahan makanan sedikit
tetapi kaya oksigen. Danau oligotrofi lama kelamaan akan meningkat
aktifitas biologisnya dan menjadi danau mesotrofi, dimana air
menjadi lebih keruh, produksi bahan organik bertambah, kesuburan danau
lebih tinggi namun belum mencapai kesuburan optimal. Jika kesuburan
danau telah mencapai titik optimal, danau tersebut disebut danau eutrofi.
III. UNSUR HARA PENYEBAB EUTROFIKASI
Hara makanan tumbuhan merupakan salah satu kelompok pencemar di perairan . Senyawaan ini biasanya kaya akan nitrogen dan fosfor
serta menstimulasi pertumbuhan tanaman secara berlebihan (Connell dan
Miller, 1998). Menurut Michael (1995), pertanyaan tentang apakah fosfat
atau nitrogen yang mepunyai pengaruh paling serius terhadap
eutrofikasi, tetap diperdebatkan, tidak diragukan lagi bahwa keduanya
memberikan sumbangan yang khas.
Ketersediaan
nitrogen dan fosfor bagi tanaman yang sedang tumbuh bergantung pada
serangkaian reaksi biologis perantara yang rumit. Nitrogen terdapat di
lingkungan perairan dalam beragam bentuk dan gabungan kimiawi yang luas
yang meliputi keadaan oksidasi yang berbeda. Nitrogen organik terikat
pada unsur pokok sel dari makhluk hidup, sebagai contoh, purin, peptida
dan asam amino, sedangkan nitrogen anorganik, sebagai contoh, amonia,
nitrit, nitrat dan gas nitrogen, terlarut dalam massa air. Perubahan
bentuk dalam massa air dari nitrogen anorganik menjadi nitrogen organik
terjadi oleh pertumbuhan fotosintesis pada tanaman air. Kebalikan dari
proses ini menghasilkan pembentukan amonia dari bahan organik oleh
sejumlah mekanisme yang melibatkan otolisis sel, jasad renik dan
pembuangan dari makhluk hidup besar. Amonia dapat hilang dari air oleh
penguapan tetapi oksidasi menghasilkan nitrifikasi terutama oleh jasad
renik, dan menghasilkan nitrat yang tidak dapat menguap. Nitrat dapat
melakukan proses denitrifikasi yang dapat menyebabkan hilangnya gas
nitrogen dan masuk ke dalam atmosfer (Brezonik 1972 dalam Connell
dan Miller, 1998). Senyawa nitrogen yang dapat diasimilasikan oleh
tumbuhan, menurut Suseno (1974) dapat dibagi dalam 4 golongan besar
yaitu: Nitrogen nitrat, Nitrogen Amoniak, Nitrogen Organik dan Nitrogen
Molekulair (N2). Namun demikian sumber utama bagi tumbuhan yang terpenting adalah ion Nitrat.
Mengenai
fosfor dikatakan oleh Connell dan Miller (1998), bahwa fosfor terdapat
dalam suatu keadaan oksidasi tunggal sebagai fosfor anorganik atau
fosfor organik. Bentuk anorganik terutama adalah ortofosfat (PO43-)
dan polifosfat. Bentuk organik selalu digabungkan dengan senyawaan zat
selular dan sebagian besar fosfor dalam air alamiah adalah dalam bentuk
organik. Bentuk anorganik, khususnya ortofosfat, siap diasimilasi selama
fotosintesis.
Selanjutnya dikatakan bahwa sumber pencemaran utama dari unsur hara adalah bagian permukaan dan bagian di bawah permukaan (subsurface) aliran
air dari daerah pertanian dan perkotaan, aliran limbah ternak, seperti
halnya buangan limbah cair industri dan rumah tangga termasuk aliran
kotoran. Limbah-limbah ini terdiri dari bermacam-macam zat yang
mengandung nitrogen dan fosfor. Sebagai contoh, nitrogen terdapat dalam
bentuk nitrogen organik, amoniak, nitrit, nitrat yang diturunkan dari
protein, asam nukleat, urea dan zat-zat lainnya. Senyawa fosfor
dihasilkan dari degradasi senyawa seperti asam nukleat dan fosfolipid
serta dalam bentuk fosfat anorganik. Fosfor juga dapat berasal dari
pembentuk fosfat di dalam detergen. Ini dapat siap dihidrolisis untuk
menghasilkan ortofosfat yang siap diasimilasi oleh tumbuh-tumbuhan.
Sumber utama nitrogen dan fosfor dalam daerah perairan dihasilkan dari
produksi makanan atau limbah dalam bentuk aliran air kotor.
IV. DAMPAK EUTROFIKASI TERHADAP BIOTA AIR
Connell
dan Miller (1995) menguraikan 3 perubahan ekosistem yang disebabkan
oleh pengkayaan unsur hara dan eutrofikasi yaitu: Perubahan dalam
metabolisme komunitas, Perubahan populasi dan komunitas dengan
pengkayaan unsur hara, ciri-ciri kriteria untuk keadaan tropik.
Menyangkut
pengaruh eutrofikasi terhadap perubahan populasi dan komunitas, dalam
Connel dan Miller (1995) dikatakan bahwa dengan adanya fitoplankton di
dalam danau terdapat suatu perubahan musiman pada komposisi komunitas
yang berhubungan dengan suhu, cahaya dan faktor musiman lainnya. Welch
(1980) dalam Connel dan Miller (1995) menyatakan bahwa di daerah
beriklim sedang, umumnya Diatomae mendominasi pada saat musim semi,
ganggang hijau pada musim panas, ganggang biru hijau pada akhir musim
panas dan mungkin diatomae pada akhir musim gugur. Namun terdapat
keragaman yang dapat diduga dalam pola ini, karena fitoplanklton yang
berbeda juga memiliki dinamika yang berbeda dan kebutuhan-kebutuhan
terhadap nitrogen, fosfor, karbondioksida serta faktor lainnya, yang
menghasilkan perubahan dalam komposisi komunitas dengan meningkatnya
eutrofikasi. Perubahan yang mencolok dengan meningkatnya unsur hara
adalah ganggang biru-hijau (Cyanophyceae) meningkat menjadi dominan.
Sementara
itu Suriawirya (1995) mengatakan bahwa dalam mikrobiologi air, beberapa
jasad tertentu dapat dijadikan jasad parameter / indikator alami
terhadap kehadiran pencemaran oganik. Misalnya bakteri Sphaerotilus
sebagai petunjuk kandungan senyawa organik tinggi dalam air. Mikroalga Anabaena dan Mycrocystis dapat menjadi petunjuk untuk kehadiran senyawa fosfat yang tinggi.
Pengaruh
utama dari meningkatnya eutrofikasi pada ikan adalah disebabkan oleh
berkurangnya oksigen yang terlarut. Berkembangnya ganggang beracun pada
umumnya meningkat dengan meningkatnya eutrofikasi. Hal ini dapat
menyebabkan kematian sejumlah besar mahluk hidup air dan hewan daratan
yang menggunakan air (Connel dan Miller, 1995).
V. KESIMPULAN / PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Eutrofikasi
adalah suatu proses yang terjadi karena danau semakin kaya oleh unsur
hara. Hal ini dapat terjadi secara alami atau secara buatan karena
campur tangan manusia.
2. Ada
beberapa unsur hara yang menyebabkan kesuburan danau, namun yang
berperan utama dalam proses eutrofikasi adalah Nitrogen dan Fosfor yang
berasal dari: produksi alami, limbah rumah tangga, erosi, limbah ternak,
pupuk dan penguraian bahan organik.
3. Eutrofikasi
dapat menyebabkan: Ledakan populasi ganggang, berkembangnya gulma air,
deoksigenasi dan kematian ikan serta mempercepat pengotoran air
(berlumpur) dan pendangkalan air danau.
DAFTAR PUSTAKA
Chiras, D.D., 1988. Environmental Science- A Framework for Decicion Making. The Benjamin / Cumming Publishing comp, INC
Connell, D.W., dan Miller, G.J. 1985. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran,
Cole, G.A., 1979. Textbook of Limnology. McGraw-Hill Book Company. New York USA.
Michael, P., 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang Dan Laboratorium. UI Press Jakarta
Odum, E.P., 1971. Dasar-dasar Ekologi. Gajah Mada University Press.
Sastrawijaya, A.T.1986. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta Jakarta.
Soeriaatmaja, R.E., 1981. Ilmu Lingkungan. ITB Bandung
Suriawirya, U., 1995. Mikrobiologi Air. Alumni Bandung.
Suseno, H., 1974. Fisiologi Tumbuhan, Metabolisme Dasar. Dept. Botani IPB Bogor.
Thohir, K.A. 1991. Butir-butir Tata Lingkungan. Rineka Cpta Jakarta
Langganan:
Postingan (Atom)