Pemanasan global
adalah bencana global bagi peradaban global yang sepertinya belum kita sadari. Apalagi
bagi kita yang masih terperangkap dalam suatu pola pikir (mind set) dan pola tindak yang saya istilahkan sebagai: ”fenomena penumpang
Titanic”.
Kita bertahan dalam
paradigma berpikir bahwa bumi ini ibarat ”kapal besar , kokoh dan tak mungkin
tenggelam”. Sama dengan paradigma berpikir para penumpang kapal besar Titanic yang
sangat kagum dan percaya diri memandang Titanic sebagai kapal yang megah, kokoh
dan tak mungkin tenggelam. Namun, tanpa kita sadari ternyata bumi
perlahan-lahan bocor, hancur dan tenggelam sementara para ”penumpang bumi”
lambat menyadarinya, sama halnya dengan para penumpang Kapal Titanic.
Disamping paradigma berpikir ”fenomena penumpang
Titanic” di atas, kita memang demikian gampang
untuk tidak menyadari bahwa bahaya lingkungan hidup global sudah berada
di depan mata kita, karena sifat dari
bahaya global bernama pemanasan global tersebut memang tidak langsung membunuh
tapi dampaknya terjadi secara perlahan-lahan dan sebenarnya kita sedang
merasakannya saat ini.
Tanda-tanda terjadinya pemanasan global sebenarnya
telah dan sedang kita rasakan, ketika orang Manado berujar: ”so lebe’ panas komang s’karang kang ?”
Termometer alami dalam tubuh kita memang merasakan daya sengat panas matahari saat ini lebih
meningkat dibanding waktu-waktu yang lalu.
Tanda – tanda lainnya adalah ketika petani mengeluh
karena musim yang tak menentu yang akhirnya mengacaukan pola tanam jenis yang
bergantung pada keteraturan musim panas
dan hujan. Suatu kondisi yang berbeda dengan kondisi tempo dulu, dimana petani tahu persis
kapan musim panas – kapan musim hujan.
Di beberapa tempat di Jawa dan Sumatera, dua minggu
yang lalu terjadi gelombang pasang air laut yang menyebabkan ratusan warga
mengungsi. Gelombang pasang ini
dapat juga terjadi karena pengaruh
pemanasan global dan melting ice. Di
laut dampak bencana global ini juga mulai terkuak. Hasil penelitian Global Coral Reef Monitoring
Network menunjukkan, lebih dari dua pertiga terumbu karang di seluruh dunia
telah rusak, bahkan terancam punah. Ancaman ini tak
lain karena adanya pemanasan global yang tengah terjadi.
Pemanasan global merupakan ancaman besar yang
terjadi sebagai akibat dari serangkaian peristiwa, yang nantinya akan kita
temui bahwa asal muasal terjadinya berawal dari tindakan manusia yang tidak
mampu memprediksi dampak kedepan, sehingga tidak antisipatif dan lebih
mengutamakan kepuasan ekonomi semata tanpa memperhitungkan aspek keberlanjutan (sustainable) dari suatu planet bumi
yang cuma ada satu.
Kisah ”amarah bumi” ini memang berawal dari aktifitas
manusia. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dampak dari Efek Rumah
Kaca (ERK) yang sebenarnya adalah proses alami karena memungkinkan kelangsungan
hidup semua makhluk di bumi. Tanpa adanya Gas Rumah Kaca, seperti
karbondioksida (CO2), metana (CH4), atau dinitro oksida (N2O), suhu permukaan
bumi akan 33 derajat Celcius lebih dingin.
Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan
peningkatan konsentrasi selimut gas di atmosfer (Gas Rumah Kaca) sehingga
melebihi konsentrasi yang seharusnya. Maka, panas matahari yang tidak dapat
dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula. Semua proses itu lah yang disebut
Efek Rumah Kaca.
ERK merupakan fenomena yang sama dengan yang bisa
kita temui saat membiarkan mobil kita diparkir dalam keadaan panas terik dan
kaca mobil tertutup rapat. Kita pasti akan merasakan panas yang hebat dalam
ruang mobil kita, karena sisa panas yang masuk ke dalam mobil tak dapat
dipantulkan keluar sebab tertahan lapisan kaca.
Sejak awal jaman industrialisasi, awal akhir abad ke-17,
konsentrasi Gas Rumah Kaca meningkat drastis. Diperkirakan tahun 1880
temperatur rata-rata bumi meningkat 0.5 – 0.6 derajat Celcius akibat emisi Gas
Rumah Kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
Jenis GRK yang memberikan sumbangan paling besar bagi
emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida, metana, dan dinitro oksida.
Sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan
batu bara) di sektor energi dan transportasi, penggundulan hutan , dan
pertanian . Sementara, untuk gas rumah kaca lainnya (HFC, PFC, SF6 ) hanya
menyumbang kurang dari 1% .
Tahun 1988, Antony Milne dalam bukunya berjudul ”Dunia di Ambang Kepunahan” (judul asli:
Our Drowning World) menulis bahwa
manusia menjadikan bumi rumah yang panas
dengan cara penebangan pohon dan perusakan tumbuhan dalam jumlah yang besar. Karena
bila bahan bakar fosil (dalam bentuk tanaman yang mati atau tertimbun) dibakar,
dan bila pohon-pohon yang hidup ditebas, sejumlah besar karbon dioksida (CO2)
dilepaskan ke dalam atmosfer.
Milne tidak sembarang bicara, dia mengungkap fakta
hasil riset yang mencengangkan mengenai penggunaan bahan bakar fosil. Sejak
Revolusi Industri, sebanyak 400.000 milyar ton gas CO2 dilepaskan ke
udara. Dan sejak awal abad -20 kita menggunakan
begitu banyak batu bara, minyak dan minyak tanah untuk mengolah
perekonomian kita sehingga menambah 20 %
jumlah gas ini. Sehingga diperkirakan sebanyak
5,5 milyar ton molekul karbon dipompa ke dalam ekosistem setiap tahun.
Hal tersebut diperparah oleh perusakan hutan yang pertumbuhannya mencapai hutan
klimaks membutuhkan waktu 50 sampai 100 tahun. Padahal hutan (dan juga samudera) sering disebut
sebagai paru-paru bumi yang mengendalikan keseimbangan oksigen dan
karbondioksida. Jika Karbondioksida dalam jumlah yang berlebihan maka gas ini
akan memerangkap atau manahan panas yang harusnya dipantulkan kembali ke
atmosfer bagian atas. Disinilah muncul Efek Rumah Kaca (ERK).
Jadi, ERK menyebabkan panas bumi, disebabkan oleh emisi
GRK yang tinggi ke udara akibat
penggunaan bahan bakar fosil dan berbagai bentuk kegiatan manusia yang melepas
GRK, diperparah dengan degradasi hutan atau tumbuhan yang sebenarnya dapat
menyerap CO2 lewat proses fotosintesis.
Apa yang perlu kita lakukan ?
Kondisi bumi yang panas akhirnya kita sadari
merupakan ulah kita sendiri misalnya dengan menghasilkan emisi karbon dan
menghilangkan hutan di lingkungan sekitar kita. Ancaman global berwujud
pemanasan global, mau tidak mau harus kita tangani kalau ingin anak cucu kita
menikmati kehidupan yang lebih sejuk dan nyaman.
Tak usah berbuat yang diluar batas kemapuan kita.
Berbuatlah dahulu dalam skala lokal untuk menghadapi bahaya global. Kita memang
hanya menempati setitik tempat dalam peta dunia, namun bukan berarti lokalitas
kita yang kecil tidak bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi
penanggulangan pemanasan global. Kita harus segera bertindak sebelum panas global yang
meningkat akhirnya semakin mengacaukan iklim, mencairkan es di kutub dan ancaman banjir global,
gelombang pasang dan bahaya ikutan lainnya
menyerang kita.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ir. Rahmat
Witoelar dalam sambutannya memperingati hari lingkungan 5 Juni 2007 mengungkap
bahwa Indonesia akan memberi kontribusi global sebagai tuan rumah Konferensi
Internasional tentang Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP)
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang akan
berlangsung di Bali, 3 - 14 Desember 2007. Pertemuan yang akan dihadiri oleh
10.000 peserta dari 189 negara akan menyepakati berbagai upaya pencegahan
pemanasan global yang sangat terkait dengan pelestarian hutan, adaptasi
kenaikan permukaan air laut, perubahan iklim serta penggalangan dana
internasional untuk kegiatan berkelanjutan. Dengan momentum ini, Indonesia akan
berperan aktif dalam diplomasi internasional membela kepentingan lingkungan
secara nasional dan global.
Sementara itu mengenai cara menghadapi ancaman
global ini, pak Menteri menyebut dua kategori yaitu dengan upaya ”adaptasi” dan ”mitigasi”. Kegiatan beradaptasi antara lain menanam pohon.
Kegiatan mitigasi atau pengurangan efek gas rumah kaca dapat dilakukan dengan
hemat energi, tidak konsumtif, mengurangi dan mengelola sampah, serta efisiensi
penggunaan transportasi.
Upaya-upaya sederhana perlu kita mulai sekarang
dari rencana tindakan – tindakan lokal. Jika banyak region lokal bertindak
dengan menanam pohon (penghijauan) maka tindakan lokal dalam kuantitas besar akhirnya
menjadi kekuatan global menghadapi ancaman global. Pohon meningkat berarti
membantu mengurangi gas CO2 di udara.
Menghemat energi dan tidak konsumtif perlu menjadi
budaya hidup kita. Kita hidup di negara miskin namun penduduknya sangat
konsumtif, sementara negara kaya sudah sejak lama memikirkan kembali perilaku
mereka yang konsumtif dan mulai mebudayakan hidup hemat yang pro pelestarian
lingkungan. Sampah harus diolah jangan menambah emisi karbon jika kita hanya
berpikir timbun dan bakar. Daur ulang sampah dapat memberikan nilai tambah
misalnya dengan mengolah sampah organik menjadi biogas dan pupuk organik
sedangkan sampah anorganik dapat diolah menjadi bahan bermanfaat.
Semua itu harus dimulai dari munculnya kesadaran
dan perubahan paradigma berpikir karena segalanya telah berubah tetapi - meminjam
istilah Einstein – ”... yang belum
berubah adalah cara berpikir kita”.
Kita harus mengubah paradigma berpikir dari
paradigma ”Titanic tanpa kewaspadaan” menuju ”Titanic dengan kewaspadaan”. Bumi
kita memang ibarat kapal yang besar – seperti Kapal Titanic – tapi, ingat bumi
kita seperti juga Titanic bisa hilang keseimbangan, hancur dan menurut Anthony
Milne sudah diambang kepunahan. Karena itu, tetap waspada dengan bertindak pro
lingkungan. Sekali lagi, save the earth dan waspadalah !!!
(***)
Penulis,
Sekretaris Lembaga
Riset dan Pengembangan Sains FMIPA UKIT; Dosen Progdi Biologi Konsentrasi
Biologi Lingkungan FMIPA UKIT; Pudek Bid. Kemahasiswaan FMIPA UKIT; Penasehat Mapala ”Biofarma” FMIPA UKIT.