(Sebuah Catatan Singkat)
Oleh: Meidy Yafeth Tinangon
Globalisasi adalah proses yang berkelanjutan dan mempercepat yang merestrukturisasi dan meningkatkan hubungan antara ekonomi, institusi, dan masyarakat sipil. Proses yang dinamis dan multidimensional ini mengintegrasikan perdagangan, produksi, dan keuangan serta memperkuat norma-norma global dan kekuatan sosial global. Sebuah konstelasi kekuatan mendorong globalisasi, termasuk teknologi baru dan lebih cepat (seperti komputer) serta peningkatan dominasi kapitalisme dan ideologi Barat.
Dalam istilah sederhana, hal ini mengarah ke 'dunia sebagai tempat tunggal', di mana perubahan di negeri tertentu yang jauh mempengaruhi orang-orang di seluruh dunia lebih cepat, dan dengan frekuensi dan intensitas yang lebih besar (Scholte 1997, dalam Dauvergne, 2005).
Salah satu definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari: “Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan”. Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu (Siregar, 2002).
Dengan pemahaman ini, maka dapat dikatakan bahwa
kebudayaan Minahasa adalah seluruh cara kehidupan masyarakat Minahasa, meliputi
cara-cara berlaku / perilaku, kepercayaan dan sikap-sikap serta hasil karya
yang khas dari masyarakat Minahasa.
·
Mapalus
Mapalus adalah bentuk solidaritas masyarakat
agraris Minahasa yang berkembang sebagai pola perilaku tradisi yang diwariskan
secara turun temumn yang terus berkembang dari generasi ke generasi secara
terus menerus (Lumintang, 2015). Mapalus adalah budaya yang merupakan
penjabaran dari falsafah Sitou Timou
Tomou Tou ialah suatu aktivitas kehidupan masyarakat dengan sifat gotong
royong (kerja-sama) dan telah melekat pada setiap insan putra-putri masyarakat
suku Minahasa. Kata dasar Mapalus ialah palus
yang antara lain artinya menuangkan dan mengerahkan, sehingga Mapalus
mengandung makna suatu sikap dan tindakan yang didasarkan pada kesadaran akan
keharusan untuk beraktivitas dengan menghimpun (mempersatukan) daya (kekuatan
dan kepandaian) setiap personil masyarakat untuk memperoleh suatu hasil yang
optimal sesuai tujuan yang telah disepakati sebelumnya (Sumual 1995).
Di awal
perkembangannya, budaya mapalus hanya terbatas pada kegiatan kerja di bidang
pertanian misalnya untuk kerjasama pembukaan lahan ataupun penggarapan sawah
dan ladang. Mapalus merupakan kultur lokal yang memiliki organisasi sehingga
dikenal sebutan kelompok mapalus. Juga terdapat aturan dalam kegiatan kerja
kelompok tersebut. Menurut Lumintang (2015), aturan dalam mapalus kerja
pertanian antara lain, yaitu wajib hadir dalam aktivitas kerja pertanian yang
telah dijadwalkan, bekerja sampai waktu yang ditentukan. Jika ada yang tidak
memenuhi kewajibannya sebagai anggota mapalus
kerja akan diberikan sanksi sesuai dengan kebijakan dari ketua mapalus
yang disepakati anggotanya.
Contoh sanksi yang diberikan adalah jika anggota
tidak bisa hadir tanpa alasan yang jelas biasanya orang tersebut di kucilkan
dari masyarakat, tidak diikutsertakan pada kegiatan-kegiatan mapalus di
kelompok lainnya karena dianggap tidak mampu membayarnya. Sedangkan jika ketidakhadiran karena alasan
sakit, orang tersebut diharuskan membayar sejumlah uang yang telah ditentukan
bersama atau mencari orang yang bisa menggantikan pekeriaannva (biasanva
digantikan oleh anggota keluarga). Hasil
penelitian terungkap bahwa, mapalus pada awal mulanya hanya di bidang pertanian
saja (sesuai aktivitas hidup masyarakat yang adalah petani), dimana saat itu
belum ada buruh tani sehingga pekerjaan lahan pertanian harus digarap oleh
petani pemilik. Dalam aktivitas mapalus tani ini, seorang pemimpin harus matu’ur (yang meneladani di depan) serta
mempertunjukkan kemampuan dan rasa tanggung-jawab. Hal ini di tunjukkan dengan
jam kerja yang sangat ketat, di mulai dari jam 06.00 pagi dan selesai pada jam
17.00 sore. Berangkat bersama-sama dan pulang bersama-sama pula.
Lebih lanjut menurut Lumintang (2015) dalam penelitiannya
di Kecamatan Langowan Utara Kabupaten Minahasa, menjelaskan bahwa seiring
dengan berkembangnya waktu, mapalus mulai mengalami perubahan. Mapalus bukan
hanya pada aktivitas penanian tetapi juga berkembang pada aktivitas seperti
kematian dengan rangkaian upacara perkabungan dan pada acara sukacita seperti
perkawinan. Mapalus kedukaan yang
berkembang di Minahasa dikemas dalam bentuk kerukunan baik kerukunan duka desa,
kemkunan desa antar jaga, dan kerukunan atas sejumlah keluarga besar (rumpun
keluarga).
Terakhir di Sulawesi Utara berkembang juga konsep “Mapalus Kamtibmas” yang digagas
Kepolisian Daerah Sulawesi Utara. Menurut Tandaju (2014), Polda Sulut
mencanangkan program “Mapalus Kamtibmas” yang mendorong partisipasi masyarakat
secara bersama untuk melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban. Filosofi
tersebut diangkat oleh Kapolda Carlo Tewu dari budaya mapalus orang minahasa.
Pendekatan budaya dipandang lebih efektif untuk melakukan upaya pencegahan dan
penanggulangan keamanan dan ketertiban secara swakarsa dengan difasilitasi oleh
kepolisian.
·
Dampak Globalisasi Terhadap Lingkungan
Hidup
Arus utama globalisasi dewasa ini ada pada globalisasi
ekonomi dengan semakin kuatnya perdagangan
bebas yang diinstitusionalisasi dengan kesepakatan-kesepakatan perdagangan
multinasional-regoional (AFTA, MEA, MEE dll). Meningkatnya ritme
perdagangan, menuntut kapasitas produksi
yang tinggi. Negara tanpa produk adalah
negara yang tak bisa menjual dan berarti hanya akan menjadi konsumen.
Produksi barang pada akhirnya menuntut adanya eksploitasi
lingkungan / sumber daya alam (Natural resourches). Ekploitasi
lingkungan yang tak terkendali (over
eksploitasi) pada akhirnya memberikan dampak pada degradasi kualitas
lingkungan hidup. Disamping itu, eksploitasi dan produksi menggunakan teknologi
(industri) yang melibatkan proses pembakaran industri dengan hasil samping
berupa limbah industri yang mengandung polutan (zat pencemar) penyebab polusi
lingkungan. Hasil samping tak bisa terhindar karena, sesuai hukum
termodinamika, energi tidak bisa diciptakan tapi bisa diubah. Proses perubahan energi manapun tidak ada
yang efisiensinya 100%. Pun proses metabolisme alami dalam tubuh manusia, tetap
menghasilkan sisa metabolisme yang dibuang sebagai kotoran atau keringat. Dengan
demikian, ketika polutan dalam kondisi melebihi daya dukung lingkungan,
terjadilah apa yang kita kenal sebagai pencemaran lingkungan.
Produksi dan over eksploitasi melahirkan perusakan dan
pencemaran lingkungan. Dari persoalan-persoalan ekologis lokal, pada akhirnya
menghasilkan apa yang kita kenal sebagai efek
rumah kaca atau Greenhouse effect, yang
kemudian menjelma menjadi global warming atau pemanasan global.
·
Mapalus Ekologi: Menangkal Dampak Lingkungan Globalisasi dengan Local Culture
Persoalan lingkungan hidup (degradasi
dan polusi), harus ditangani dengan pendekatan multidimensional. Model
pemecahan masalah lingkungan dapat dilakukan dengan sinergi dari aspek ekologi,
teknologi, ekonomi, sosial, politik dan budaya untuk menghasilkan sebuah output
berupa keberlanjutan (Sustainabilitas)
sistem kehidupan. Dalam pendekatan kebudayaan, mapalus merupakan sebuah potensi
atau modal yang dapat menggerakan ekonomi, teknologi untuk keberlanjutan alam
(juga keberlanjutan kultural).
Menurut Rembet (2004), Mapalus adalah suatu aktivitas
kehidupan masyarakat dengan sifat gorong royong (kerja-sama) yang sudah melekat
pada setiap insan putra-putri masyarakat suku Minahasa. Mapalus merupakan cultural asset
yang sangat penting bagi masyarakat Minahasa, sehingga dapat dikatakan
sebagai Social Capital dalam hidup bermasyarakat sesuai falsafah hidup
anak temurun Toar-Lumimuut. Mapalus dalam horizon waktu dapat diklasifikasi
dalam beberapa kondisi sesuai perkembangan/kemajuan aktivitas hidup yang
berhubungan dengan bergesernya nilai-nilai dasar sifat mapalus yang lebih mengarah
pada hubungan social yang baik serta kelestariaan alam yang lebih sustainable.
Kebudayaan mapalus sebagai modal sosial masyarakat
Minahasa, dapat dirancang dan diaplikasikan sebagai model pemberdayaan
masyarakat.
Referensi:
- Dauvergne, P., 2005. Globalization and the environment. Global Political Economy, pp.448-478.
- Lumintang, J., 2015. Konstruksi Budaya Mapalus Dalam Kehidupan Masyarakat Minahasa. Jurnal Administrasi Publik,1(028): 73-80
- Rembet,S. 2004. Mapalus Sebagai Kapital Sosial Pembangunan Di Minahasa. Sekolah Pascasarjana IPB.
- Siregar, L., 2002. Antropologi dan Konsep Kebudayaan. Jurnal Antropologi Papua, 1(1), pp.1-12
- Sumual, H.N., 1995. Baku Beking Pande. Bina Insani. Jakarta
- Tandaju, V. 2014. Implementasi Program Mapalus Kamtibmas Di Kecamatan Maesaan Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal Eksekutif, 1(3) pp: 1-12.
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar