Ayo lawan COVID-19: StayAtHome-Jaga Jarak-Hindari Kerumunan-Pakai Masker-Jaga Kondisi Tubuh

Kamis, 10 November 2016

Globalisasi, Lingkungan Hidup dan Ide "Mapalus Ekologi"

(Sebuah Catatan Singkat) 

Oleh: Meidy Yafeth Tinangon 

Globalisasi adalah proses yang berkelanjutan dan mempercepat yang merestrukturisasi dan meningkatkan hubungan antara ekonomi, institusi, dan masyarakat sipil. Proses yang dinamis dan multidimensional ini mengintegrasikan perdagangan, produksi, dan keuangan serta memperkuat norma-norma global dan kekuatan sosial global. Sebuah konstelasi kekuatan mendorong globalisasi, termasuk teknologi baru dan lebih cepat (seperti komputer) serta peningkatan dominasi kapitalisme dan ideologi Barat. 

Dalam istilah sederhana, hal ini mengarah ke 'dunia sebagai tempat tunggal', di mana perubahan di negeri tertentu yang jauh mempengaruhi orang-orang di seluruh dunia lebih cepat, dan dengan frekuensi dan intensitas yang lebih besar (Scholte 1997, dalam Dauvergne, 2005).

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan kedidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup). Dengan demikian lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada persoalan alam atau habitat tempat manusia hidup saja, tetapi juga mencakup manusia dan interaksinya, yang disebut dengan lingkungan sosial.


Salah satu definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari: “Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan”. Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu (Siregar, 2002).

Dengan pemahaman ini, maka dapat dikatakan bahwa kebudayaan Minahasa adalah seluruh cara kehidupan masyarakat Minahasa, meliputi cara-cara berlaku / perilaku, kepercayaan dan sikap-sikap serta hasil karya yang khas dari masyarakat Minahasa.

·         Mapalus
Mapalus adalah bentuk solidaritas masyarakat agraris Minahasa yang berkembang sebagai pola perilaku tradisi yang diwariskan secara turun temumn yang terus berkembang dari generasi ke generasi secara terus menerus (Lumintang, 2015). Mapalus adalah budaya yang merupakan penjabaran dari falsafah Sitou Timou Tomou Tou ialah suatu aktivitas kehidupan masyarakat dengan sifat gotong royong (kerja-sama) dan telah melekat pada setiap insan putra-putri masyarakat suku Minahasa. Kata dasar Mapalus ialah palus yang antara lain artinya menuangkan dan mengerahkan, sehingga Mapalus mengandung makna suatu sikap dan tindakan yang didasarkan pada kesadaran akan keharusan untuk beraktivitas dengan menghimpun (mempersatukan) daya (kekuatan dan kepandaian) setiap personil masyarakat untuk memperoleh suatu hasil yang optimal sesuai tujuan yang telah disepakati sebelumnya (Sumual 1995). 

Di awal perkembangannya, budaya mapalus hanya terbatas pada kegiatan kerja di bidang pertanian misalnya untuk kerjasama pembukaan lahan ataupun penggarapan sawah dan ladang. Mapalus merupakan kultur lokal yang memiliki organisasi sehingga dikenal sebutan kelompok mapalus. Juga terdapat aturan dalam kegiatan kerja kelompok tersebut. Menurut Lumintang (2015), aturan dalam mapalus kerja pertanian antara lain, yaitu wajib hadir dalam aktivitas kerja pertanian yang telah dijadwalkan, bekerja sampai waktu yang ditentukan. Jika ada yang tidak memenuhi kewajibannya sebagai anggota mapalus  kerja akan diberikan sanksi sesuai dengan kebijakan dari ketua mapalus yang disepakati anggotanya. 

Contoh sanksi yang diberikan adalah jika anggota tidak bisa hadir tanpa alasan yang jelas biasanya orang tersebut di kucilkan dari masyarakat, tidak diikutsertakan pada kegiatan-kegiatan mapalus di kelompok lainnya karena dianggap tidak mampu membayarnya.  Sedangkan jika ketidakhadiran karena alasan sakit, orang tersebut diharuskan membayar sejumlah uang yang telah ditentukan bersama atau mencari orang yang bisa menggantikan pekeriaannva (biasanva digantikan oleh anggota keluarga).  Hasil penelitian terungkap bahwa, mapalus pada awal mulanya hanya di bidang pertanian saja (sesuai aktivitas hidup masyarakat yang adalah petani), dimana saat itu belum ada buruh tani sehingga pekerjaan lahan pertanian harus digarap oleh petani pemilik. Dalam aktivitas mapalus tani ini, seorang pemimpin harus matu’ur (yang meneladani di depan) serta mempertunjukkan kemampuan dan rasa tanggung-jawab. Hal ini di tunjukkan dengan jam kerja yang sangat ketat, di mulai dari jam 06.00 pagi dan selesai pada jam 17.00 sore. Berangkat bersama-sama dan pulang bersama-sama pula. 

Lebih lanjut menurut Lumintang (2015) dalam penelitiannya di Kecamatan Langowan Utara Kabupaten Minahasa, menjelaskan bahwa seiring dengan berkembangnya waktu, mapalus mulai mengalami perubahan. Mapalus bukan hanya pada aktivitas penanian tetapi juga berkembang pada aktivitas seperti kematian dengan rangkaian upacara perkabungan dan pada acara sukacita seperti perkawinan.  Mapalus kedukaan yang berkembang di Minahasa dikemas dalam bentuk kerukunan baik kerukunan duka desa, kemkunan desa antar jaga, dan kerukunan atas sejumlah keluarga besar (rumpun keluarga).

Terakhir di Sulawesi Utara berkembang juga konsep “Mapalus Kamtibmas” yang digagas Kepolisian Daerah Sulawesi Utara. Menurut Tandaju (2014), Polda Sulut mencanangkan program “Mapalus Kamtibmas” yang mendorong partisipasi masyarakat secara bersama untuk melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban. Filosofi tersebut diangkat oleh Kapolda Carlo Tewu dari budaya mapalus orang minahasa. Pendekatan budaya dipandang lebih efektif untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan keamanan dan ketertiban secara swakarsa dengan difasilitasi oleh kepolisian.

·         Dampak Globalisasi Terhadap Lingkungan Hidup

Arus utama globalisasi dewasa ini ada pada globalisasi ekonomi dengan semakin kuatnya perdagangan bebas yang diinstitusionalisasi dengan kesepakatan-kesepakatan perdagangan multinasional-regoional (AFTA, MEA, MEE dll). Meningkatnya ritme perdagangan,  menuntut kapasitas produksi yang tinggi.  Negara tanpa produk adalah negara yang tak bisa menjual dan berarti hanya akan menjadi konsumen.

Produksi barang pada akhirnya menuntut adanya eksploitasi lingkungan /  sumber daya alam (Natural resourches). Ekploitasi lingkungan yang tak terkendali (over eksploitasi) pada akhirnya memberikan dampak pada degradasi kualitas lingkungan hidup. Disamping itu, eksploitasi dan produksi menggunakan teknologi (industri) yang melibatkan proses pembakaran industri dengan hasil samping berupa limbah industri yang mengandung polutan (zat pencemar) penyebab polusi lingkungan. Hasil samping tak bisa terhindar karena, sesuai hukum termodinamika, energi tidak bisa diciptakan tapi bisa diubah.  Proses perubahan energi manapun tidak ada yang efisiensinya 100%. Pun proses metabolisme alami dalam tubuh manusia, tetap menghasilkan sisa metabolisme yang dibuang sebagai kotoran atau keringat. Dengan demikian, ketika polutan dalam kondisi melebihi daya dukung lingkungan, terjadilah apa yang kita kenal sebagai pencemaran lingkungan.

Produksi dan over eksploitasi melahirkan perusakan dan pencemaran lingkungan. Dari persoalan-persoalan ekologis lokal, pada akhirnya menghasilkan apa yang kita kenal sebagai efek rumah kaca atau Greenhouse effect, yang kemudian menjelma menjadi global warming  atau pemanasan global.

·         Mapalus Ekologi: Menangkal Dampak Lingkungan Globalisasi dengan Local Culture

Persoalan lingkungan hidup (degradasi dan polusi), harus ditangani dengan pendekatan multidimensional. Model pemecahan masalah lingkungan dapat dilakukan dengan sinergi dari aspek ekologi, teknologi, ekonomi, sosial, politik dan budaya untuk menghasilkan sebuah output berupa keberlanjutan (Sustainabilitas) sistem kehidupan. Dalam pendekatan kebudayaan, mapalus merupakan sebuah potensi atau modal yang dapat menggerakan ekonomi, teknologi untuk keberlanjutan alam (juga keberlanjutan kultural).

Menurut Rembet (2004), Mapalus adalah suatu aktivitas kehidupan masyarakat dengan sifat gorong royong (kerja-sama) yang sudah melekat pada setiap insan putra-putri masyarakat suku Minahasa.   Mapalus merupakan cultural asset yang sangat penting bagi masyarakat Minahasa, sehingga dapat dikatakan sebagai Social Capital dalam hidup bermasyarakat sesuai falsafah hidup anak temurun Toar-Lumimuut. Mapalus dalam horizon waktu dapat diklasifikasi dalam beberapa kondisi sesuai perkembangan/kemajuan aktivitas hidup yang berhubungan dengan bergesernya nilai-nilai dasar sifat mapalus yang lebih mengarah pada hubungan social yang baik serta kelestariaan alam yang lebih sustainable.

Kebudayaan mapalus sebagai modal sosial masyarakat Minahasa, dapat dirancang dan diaplikasikan sebagai model pemberdayaan masyarakat.

 Referensi:

  • Dauvergne, P., 2005. Globalization and the environment. Global Political Economy, pp.448-478.
  • Lumintang, J., 2015. Konstruksi Budaya Mapalus Dalam Kehidupan Masyarakat Minahasa. Jurnal Administrasi Publik,1(028): 73-80
  • Rembet,S. 2004. Mapalus Sebagai Kapital Sosial Pembangunan Di Minahasa. Sekolah Pascasarjana IPB.
  • Siregar, L., 2002. Antropologi dan Konsep Kebudayaan. Jurnal Antropologi Papua, 1(1), pp.1-12
  • Sumual, H.N., 1995. Baku Beking Pande. Bina Insani. Jakarta
  • Tandaju, V. 2014. Implementasi Program Mapalus Kamtibmas Di Kecamatan Maesaan Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal Eksekutif, 1(3) pp: 1-12.
  • Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.




[i] Catatan pengantar diskusi Sekolah Mawale, 16 September 2016
[ii] Ketua Gerakan Minahasa Muda (GMM)