Ayo lawan COVID-19: StayAtHome-Jaga Jarak-Hindari Kerumunan-Pakai Masker-Jaga Kondisi Tubuh

Selasa, 26 Mei 2020

Bumi Sunyi di Tengah Pandemi

| ilustrasi "Bumi Sunyi" || sumber: fssd.com | 
Tahun ini, bumi dalam situasi yang memprihatinkan dengan terjadinya pandemi global Corona Viruses Disease - 2019 (Covid-19).  

Sebagai upaya pencegahan transmisi  antar manusia dari varian baru virus Corona tersebut maka strategi Social dan Physical Distancing dengan tagar #StayAtHome atau #DirumahAja menjadi pilihan.

Alhasil, aktivitas di luar rumah dibatasi, pertemuan online/virtual menjadi pilihan menggantikan pertemuan offline. Rumah menjadi ramai, sekeluarga kumpul bersama, tapi di luar rumah, sunyi !  Kantor sunyi, mall sepi, hotel banyak yang menghentikan aktivitasnya. Jalanan pun sunyi.

Pandemi global Covid-19  hadir ketika bumi masih bergumul dengan perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming).

Fenomena yang paling dirasakan dalam konteks perubahan iklim adalah suhu bumi makin panas. Dengan kondisi ini maka tak heran tema peringatan hari bumi bulan April 2020 yang lalu, seperti dirilis earthday.org adalah climate action. Perubahan iklim dianggap masih menjadi tantangan besar planet bumi.
Memang, penyebaran Covid-19 di Indonesia bukan karena faktor perubahan iklim, sebagaimana rilis ilmiah BMKG 3 April 2020 dimana dalam rilis yang berasal dari kajian ilmiah dan penelitian terbaru, BMKG menyimpulkan bahwa analisis statistik dan hasil pemodelan matematis di beberapa penelilitian di atas mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang linggi, tapi bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang ke dua. Meningkatnya kasus pada gelombang ke dua saat ini di Indonesia tampaknya lebih kuat dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial.

Disebutkan pula bahwa kondisi cuaca/iklim serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk berkembangnya wabah COVID-19. Namun fakta menunjukkan terjadinya lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia  diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah COVID-19 di Indonesia.

Sekalipun demikian, perubahan iklim masih menjadi tantangan besar kita dan karenanya perlu mendapatkan atensi yang besar. Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM merilis informasi bahwa 80 Persen Bencana di Indonesia Akibat Perubahan Iklim (https://ugm.ac.id/id/berita/8496-80-persen-bencana-di-indonesia-akibat-perubahan-iklim).

Upaya dan aksi dalam rangka pencegahan transmisi antar manusia yang membuat bumi sepi sebenarnya memberikan dampak pada upaya pengendalian perubahan iklim dan pemanasan global.
Kendaraan pribadi banyak yang parkir, dan di beberapa tempat pembatasan kendaraan diberlakukan serta efek dari pembatasan aktivitas sekolah dan perkantoran, menurunkan emis gas rumah kaca ke atmosfir bumi.

Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dampak dari Efek Rumah Kaca (ERK) yang sebenarnya adalah proses alami karena memungkinkan kelangsungan hidup semua makhluk di bumi. Tanpa adanya Gas Rumah Kaca, seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), atau dinitro oksida (N2O), suhu permukaan bumi akan 33 derajat Celcius lebih dingin.

Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di atmosfer (Gas Rumah Kaca) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya. Maka, panas matahari yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula. Semua proses itu lah yang disebut Efek Rumah Kaca.

ERK merupakan fenomena yang sama dengan yang bisa kita temui saat membiarkan mobil kita diparkir dalam keadaan panas terik dan kaca mobil tertutup rapat.

Kita pasti akan merasakan panas yang hebat dalam ruang mobil kita, karena sisa panas yang masuk ke dalam mobil tak dapat dipantulkan keluar sebab tertahan lapisan kaca. Data hari ke- 11 PSBB di Jakarta beberapa waktu lalu dalam catatan AirVisual sebagaimana dilansir oto.detik.com menyebabkan Air Quality Index (AQI) menurun, namun Jakarta masih berada di peringkat 4 Kota dengan udara tidak sehat di dunia. Hal ini tentu saja perlu menjadi catatan kedepan.

Hal lainnya, terkait "kesunyian bumi" di hari bumi adalah meningkatnya aktivitas online/virtual.  Work From Home membuat para pimpinan dan staf tak banyak berurusan dengan kertas, sehingga aktivitas pemerintahan maupun swasta di bulan WFH ini benar-benar menerapkan paperless, pengurangan penggunaan kertas sebagai upaya menjaga keseimbangan bumi kita.

Ah, semoga sekalipun bumi sepi dari aktivitas penghuninya dan sepi dari polusi dan over eksploitasi, di masa pandemi, kedepannya pasca pandemi, kita berharap bumi akan sepi dari kejahatan lingkungan dan aksi tak ramah terhadap lingkungan. Hingga akhirnya bumi kita akan lestari dan kita bebas menari di bumi kita, rumah besar kita....

============

(Penulis, Meidy Tinangon. Alumnus Progdi Biologi FMIPA UKI Tomohon dan Program Magister Biologi Lingkungan UNIMA. Artikel ini pernah tayang di kompasiana.com 21 April 2020 dalam rangka Hari Bumi 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar