Ayo lawan COVID-19: StayAtHome-Jaga Jarak-Hindari Kerumunan-Pakai Masker-Jaga Kondisi Tubuh

Selasa, 05 Februari 2013

Menelusuri Problema Danau Tondano



“Pendangkalan, Eutrofikasi dan Eceng Gondok”

Oleh: Meidy Tinangon



  • ·         Trend penurunan kedalaman / pendangkalan danau Tondano

Dari berbagai sumber Daerah Aliran Sungai (DAS) Danau Tondano memiliki manfaat besar pada upaya pemenuhan kebutuhan manusia, seperti sumber air bersih melalui PDAM ke Kota Manado sebanyak 25.296 pelanggan. Kemudian sumber distribusi listrik PLTA Tonsea Lama sekitar 14,4 Megawatt (MW), PLTA Tanggari Satu 18 MW, PLTA Tanggari II 19 MW, PLTA Sawangan 16 MW. Di sektor perikanan ada produksi ikan sekitar 534 ton. Bahkan bisa menyuplai air ke 3.000 hektar sawah padi diseputaran danau tersebut serta bisa dimanfaatkan pada sektor wisata.
Namun demikian fungsi yang dwemikian besar tersebut, saat ini menjadi terancam akibat berbagai masalah yang dialami danau Tondano. Salah satu persoalan yng mengemuka saat ini adalah pendangkalan danau Tondano. Dari berbagai sumber,  penurunan kedalaman danau Tondano dapat dilihat di bawah ini.

Tahun
Kedalaman Maksimal
Analisis penurunan
1934
40 m
·         Tahun 1934-1974:
Selama 40 tahun  , penurunan sebesar 12 m. Berarti rata-rata penurunan per tahun adalah = 12 m / 40 thn = 0,3 m (30 cm);  atau penurunan setiap 10 tahun = 12/4 = 3 m.
·         Tahun 1974-1983
Selama 9 tahun, penurunan sebesar 1 m. Rata-rata penurunan per tahun= 0,11 m (11 cm)
·         Tahun 1983-1987
Dalam kurun waktu 4 tahun  terjadi penurunan 7 m atau  penurunan per thn = 1,75 m (175 cm)
·         Tahun 1987-1992
Dalam kurun waktu 5 tahun, terjadi penurunan 4 m. Penurunan per tahun = 0,8 m (80cm)
·         Tahun 1992-1996
Dalam 4  tahun, penurunan hanya 1 m. Per tahun = 0,25 m/thn (25 cm)
1974
28m
1983
27 m
1987
20 m
1992
16 m
1996
15 m


Perubahan Kedalaman Danau Tondano
Nampak bahwa ada perbedaan rentang penurunan kedalaman pada setiap masa. Diduga hal ini disebabkan oleh faktor pemanfaatan ruang dan manajemen ekosistem. Misalnya dipengaruhi oleh berkurangnya luas hutan, masa budidaya cengkih dan masa keemasannya di tahun 1970-an sampai 1980-an. Juga ketika tanaman ini mulai dibiarkan tak terawat disaat harganya anjlok. Pada era 1995 ke atas pengaruh penting lainnya adalah pemeliharaan ikan dengan sistem keramba kemudian jaring tancap yang memproduksi sedimen dari cangkang moluska (jenis renga, kelombi dll).

Jika  dihitung dari data awal yang ada yaitu tahun 1934(40m)  hingga data terakhir tahun 1996 (15m), maka penurunan selama 52 tahun sebesar 25 m, atau rata-rata penurunan per tahun adalah 25 m/ 52 thn = 0,48 m atau 48 cm.

Yang perlu diperhatikan adalah pada tahun 1996, kehadiran gulma air Eceng Gondok (Eichornia crassipes) belum seperti sekarang ini. Artinya capaian kedalaman 15 m waktu itu belum terlalu dipengaruhi oleh pertumbuhan eceng gondok. Nah, jika kedalaman saat ini setelah 15 tahun dari 1996 telah banyak dipengaruhi oleh eceng gondok, bisa saja penurunan kedalaman per tahun bukan hanya  48 cm tetapi lebih dari itu.

Jika pun faktor eceng gondok kita abaikan, dengan mengambil perhitungan penurunan kedalaman  48 cm / tahun maka penurunan kedalaman danau tahun 2011 (15 tahun setelah 1996) dapat diprediksi menjadi 15 thn  x 48 cm = 720 cm atau 7,20 m. Ini berarti kedalaman danau diprediksi telah berkurang 7,2 m dan tertinggal berkisar pada angka 7,8 m ! berapa lama lagi waktu yang diperlukan untuk menghapus danau Tondano yang dalamnya tinggal 7,8 m itu dari peta ? (meskipun perlu data empirik terakhir, ini hanya perhitungan kasar saja).

Jika penurunannya tetap 0,48 m per tahun, maka waktu yang dibutuhkan tinggal 16 ¼  tahun dari sekarang. Berarti prediksi matematis ini, memprediksi bahwa pada tahun  2027  kedalaman danau tinggal 0 m dan danau tondano bukan lagi danau, tetapi berubah wujud menjadi rawa bahkan daratan. Ini mungkin saja terjadi jika kita hanya tinggal diam. Simpelnya, cobalah biarkan eceng gondok tumbuh subur tak diangkat, pasti dalam 1 – 2 tahun seluruh danau telah ditumbuhi eceng gondok yang lama-lama akan semakin menjadi penyebab pendangkalan dan penjebak lumpur....

Dampak Pendangkalan
Dampak pendangkalan danau, telah dan sedang dirasakan oleh masyarakat saat ini.  Banjir yang dialami oleh masyarakat di beberapa desa pinggiran danau maupun sungai Tondano adalah salah satu contoh aktual dari terjadinya pendangkalan danau. Meskipun pendangkalan danau bukanlah satu-satunya faktor penyebab banjir, namun berkurangnya kapasitas tampung wadah danau atau sungai akibat pendangkalan yang pasti menyebabkan peluapan air ketika jumlah input / masukan air lebih besar dibanding kapasitas tampung dan kemampuan pembuangan, yang diperparah oleh penahanan air di pintu air PLN tonsealama.

Dalam jangka panjang pendangkalan sebagai bagian dari proses suksesi danau akan merubah fisiografi dan karakteristik habitat dari ekosistem danau menjadi rawa berlumpur dan kemudian daratan.

Penyebab Pendangkalan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan  terjadinya pendangkalan yang pada prinsipnya merupakan peristiwa sedimentasi atau pengendapan partikel padat seperti lumpur di dasar danau dansungai.  Faktor penyebab tersebut adalah:
1.      Erosi tanah permukaan . Tanah di pegunungan / daratan sekitar danau terkikis disaat hujan. Tingkat erosi semakin besar karena daerah penyangga seperti hutan semakin kritis. Data tahun 2001, keadaan hutan di DAS Tondano tinggal 8,75 % .
2.      Sedimentasi organik seperti oleh tumbuhan air Arakan (Hydrilla verticilata)  dan Eceng Gondok (Eichornia crassipes). Tumbuhan air ini jika mati akan menumpuk dan mengendap di dasar danau. Apalagi proses pengendalian secara fisik dilakukan kurang sempurna dimana eceng gondok yang di angkat hanya dibiarkan di tepi danau. Akibatnya terjadi percepatan pembentukan rawa dan daratan di beberapa tempat di tepi danau. Hal ini bukan saja menyebabkan pendangkalan tetapi sekalian menyebabkan penyempitan danau.
3.      Pembuangan sampah. DanauTondano masih menjadi tempat yang empuk untuk tempat pembuangan sampah baik secara langsung ke badan air danau atau melalui sungai yang bermuara di danau Tondano.
Faktor mana yang lebih besar mempengaruhi proses sedimentasi, butuh kajian lebih lanjut. Namun demikian, eceng gondok punya potensi yang tak bisa terhalang oleh waktu dan kondisi musim. Baik musim hujan maupun panas, tumbuhan ini tetap tumbuh subur di danau yang semakin subur lewat proses penyuburan danau (eutrofikasi). Jadi baik di musim panas maupun  hujan tumbuhan ini berpotensi mempercepat laju pendangkalan danau. Sementara erosi tanah, lebih kentara di musim hujan.


  • Eceng Gondok, Eutrofikasi, Pendangkalan dan Penyempitan Danau

Sejak kapan tumbuhan air (aquatic plants) eceng gondok menempati habitat barunya yaitu danau Tondano ? Dari penelusuran data yang ada, Eceng Gondok (Eichornia crassipes) belum ditemukan oleh peneliti sampai tahun 1995. Data perubahan komposisi tumbuhan air dari beberapa peneliti menunjukan  adanya perubahan komposisi jenis tumbuhan air di danau Tondano.
1.      Data dari Rondo (1977), dan Soerjani dkk, (1979) menyatakan komposisi tumbuhan air sebagai berikut: Pistia stratiotes, Spirodela polyrhiza, Azolla piñata, Lemna minor, Ceratophylum demersum, Hydrilla verticillata, Najas indica, dan Potamogeton malaianus. 
2.      Sementara hasil penelitian Tamanampo dkk (1995) melaporkan komposisi spesies yang hanya terdiri dari 6 spesies yaitu: P. malaianus, H. verticillata, C. demersum, dan N. indica, P. stratiotes, Ludwigia adscendens.
3.      Penelitian Tinangon, (1999) selain ke enam jenis di atas, ditemukan juga polygonum sp., Ipomea aquatica, Eichornia crassipes, dan Paspalum sp.
Data terakhir di atas, menjadi catatan karena selain masuknya eceng gondok dalam daftar spesies tumbuhan air di danau Tondano, eceng gondok langsung menempati urutan pertama dalam hal kerapatan / biomassa sehingga menjadi tumbuhan air yang dominan sejak saat itu atau di kisaran tahun 1996 ke atas.

Eceng gondok termasuk tanaman yang “rakus” sehingga sangat senang tumbuh di daerah yang banyak makanannya (nutrien) berupa unsur-unsur hara terutama Nitrogen (N) dalam bentuk nitrat (NO3), amoniak (NH3) dan Fosfor (P) dalam bentuk fosfat/orthofosfat (PO4). Semakin banyak senyawa-senyawa tersebut, maka semakin subur suatu danau. Ini berarti tingkat eutrofikasi semakin tinggi.
Sumber pencemaran utama dari unsur hara adalah bagian permukaan dan bagian bawah permukaan (subsurface) aliran air dari daerah pertanian dan perkotaan, aliran limbah ternak, seperti halnya buangan limbah cair industri dan rumah tangga termasuk aliran kotoran.  Limbah-limbah ini terdiri dari bermacam-macam zat yang mengandung nitrogen dan fosfor. Sebagai contoh, nitrogen terdapat dalam bentuk nitrogen organik, amoniak, nitrit, nitrat yang diturunkan dari protein, asam nukleat, urea dan zat-zat lainnya. Senyawa fosfor dihasilkan dari degradasi senyawa seperti asam nukleat dan fosfolipid serta dalam bentuk fosfat anorganik. Fosfor juga dapat berasal dari pembentuk fosfat di dalam detergen. Ini dapat siap dihidrolisis untuk menghasilkan ortofosfat yang siap diasimilasi oleh tumbuh-tumbuhan. Sumber utama nitrogen dan fosfor dalam daerah perairan dihasilkan dari produksi makanan atau limbah dalam bentuk aliran air kotor.  Di danau Tondano, sumber-sumber nutrien tersebut adalah: erosi permukaan tanah, sisa-sisa pupuk dan deterjen, sisa pakan ikan, limbah ikan serta penguraian tumbuhan dan hewan air yang mati.
 Data terakhir yang sempat dihimpun mengenai konsentrasi nitrat dan fosfat adalah hasil survey M. Tinangon akhir tahun 2009 yang mendapati hasil sebagai berikut, dimana nilai tersebut menunjukan bahwa danau Tondano telah masuk dalam kelompok DANAU EUTROFIK atau Danau yang tingkat kesuburannya sangat tinggi dengan demikian telah terjadi pencemaran nutrien di Danau Tondano:
Range / kisaran konsentrasi nitrat dan fosfat untuk masing-masing stasiun penelitian (Tinangon, 2009)
Stasiun
Range / Kisaran Konsentrasi
Nitrat (mg/L)
Fosfat (mg/L)
I (Eris)
0,75 – 1,08
0,015 – 0,290
II (Kakas)
1,36 - 3,96
0,050 – 0,570
III (Remboken)
2,08 – 2,97
0,225 - 0,360
IV (Toulour)
2,51 – 5,25
0,410 – 1,017

Danau yang demikian subur ini telah mendukung kehidupan flora akuatik berbentuk fitoplankton (tumbuhan air hijau bersifat mikro dan melayang di perairan danau). Survey Tinangon (2009) , kelimpahan fitoplankton mencapai 3646 sel/Liter. Jadi dalam 1 liter air danau terdapat 3646 sel fitoplankton ! Fitoplankton adalah juga pengguna nitrat dan fosfat, selain itu jika mati akan meberikan kontribusi kembali pada penyuburan danau disaat tumbuhan ini terdekomposisi. Seperti halnya juga eceng gondok.
            Potensi sumber pencemar nutrien di danau Tondano, menurut Tinangon (2009) “Analisis Nitrat dan Fosfat serta Struktur Komunitas Fitoplankton sebagai indikator eutrofikasi pada ekosistem danau Tondano”, adalah:
Karakteristik bagian danau
Sumber-sumber Nutrien (N dan P)
Daerah budidaya ikan
·  Sisa pakan ikan ; Limbah ikan budidaya
·  Limbah rumah tangga
·  Erosi permukaan daratan; Penguraian tumbuhan dan fitoplankton yang mati
Daerah pertanian
·  Sisa pupuk
·  Aliran sedimen dari sungai
·  Kotoran ternak itik
·  Penguraian sisa tanaman dan fitoplankton
Daerah pariwisata dan pemukiman
·  Limbah dari objek wisata
·  Limbah rumah tangga termasuk detergen
·  Limbah ternak dan pertanian dari daratan yang masuk melalui sungai
·  Penguraian sisa tanaman dan fitoplankton
·  Sisa pakan ternak
Daerah Outlet (aliran keluar air)
·  Dekomposisi tumbuhan air yang melimpah
·  Daerah pertanian sekitar (pupuk)
·  Aliran bahan organik dari perairan sekitar
·  Penguraian fitoplankton

Kehadiran eceng gondok  berperan juga dalam pendangkalan danau, karena jika tumbuhan ini mati  maka dia akan menumpuk cukup lama di dasar danau sebelum akhirnya hancur dan terurai. Disamping itu, tumbuhan ini juga menjadi semacam “perangkap lumpur”. Kehebatan eceng gondok, apalagi dengan sistem pengendalian yang kurang baik karena hanya dibiarkan di tepi danau, akan sangat berpotensi membentuk rawa dan daratan baru di tepi danau sehingga menyebabkan penyempitan danau. Penguapan oleh eceng gondok disaat musim panas juga menjadi masalah karena diduga cukup signifikan mengurangi volume air di musim panas.



  • CONTROL BY USE: Alternatif Solusi Untuk Eceng Gondok

Salah satu solusi alternatif bagi pengendalian eceng gondok adalah pengendalian dengan pemanfaatan (Control by Use / CBU). Maksudnya, eceng gondok dikendalikan populasinya dengan cara diangkat dari permukaan air secara masif dan rutin, kemudian di bawa ke tempat penampungan untuk diolah menjadi bahan kerajinan, biogas, pupuk bahkan pakan ternak. Jadi, disamping dikendalikan populasinya, masyarakat dan pemerintah mendapatkan nilai tambah, sehingga masalah bisa dirubah menjadi peluang secara cerdas.

Penanganan selama ini, hanya menghilangkan eceng gondok secara sementara saja dan memberikan dampak yang kurang baik. Eceng gondok yang dibiarkan di tepi danau, bisa kembali bertumbuh secara vegetatif dengan stolonnya. Disamping itu menyebabkan pendangkalan dan pembentukan daratan di tepi danau. Pengangkatan juga sebagiknya dilakukan disaat sebelum tumbuhan ini berbunga untuk mencegah penyebaran benih / spora eceng gondok yang bisa mencapai ribuan bakal tanaman pada setiap indibidu yang telah berbunga.

(penulis, Pengajar Ekologi FMIPA UKIT, Ketua Gerakan Minahasa Muda)

Jumat, 01 Februari 2013

Mencari Solusi Problema Lingkungan DANAU TONDANO



Oleh:
Meidy Y. Tinangon

Orang Minahasa dimanapun berada, yang sempat melihat langsung Danau Tondano, pasti  prihatin dengan kondisi danau kebanggaannya tersebut.  Secara kasat mata, danau yang menjadi salah satu ”primadona pariwisata kawanua” saat ini dipenuhi oleh salah satu spesies tumbuhan air yang dikenal sangat cepat pertumbuhannya yaitu Eceng Gondok yang dalam bahasa ilmiah (scientific name) dikenal dengan Eichornia crassipes.

Dalam laporan Tamanampo dkk peneliti dari Fakultas Perikanan Manado, Tahun 1995 Tumbuhan air yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan Water hyantich  ini belum ditemui. Komunitas tumbuhan akuatik di Danau Tondano kala itu masih didominasi oleh tumbuhan jenis arakan (Hydrilla verticilata) dan tanaman terbenam-berakar di dasar danau lainnya.
Namun survey penulis tahun 1999 (selang waktu 4 tahun) Eceng Gondok telah eksis dan menjadi spesies dominan dalam struktur komunitas tumbuhan air di Danau Tondano. Semenjak itu, perhatian pemerintah maupun masyarakat kawanua mulai diarahkan ke ekosistem kebanggaan Tou Minahasa tersebut. Berbagai wacana maupun aksi nyata telah dilakukan semua komponen terkait dengan target : selamatkan Danau Tondano, berantas Eceng Gondok !. Tetapi hingga saat   ini, torang masih berkutat dalam wacana dan aksi yang masih cenderung asal tembak, tidak sistematis dan tanpa sinergi. Hasilnya ?  Sampai saat ini Eceng Gondok masih menguasai Danau Tondano dan berarti menguasai Tou Minahasa.
Foto Udara Outlet Danau Tondano
Kalau dengan Eceng Gondok saja kita kalah bersaing, apalagi dengan kompetisi global yang semakin menggila sekarang ini ? Mungkinkah tak ada alternatif solusi untuk menanggulangi Eceng Gondok ?? Ataukah solusi ada namun hanya sampai pada konsep tanpa ada good will  untuk action ?? Mungkinkah benar stigma ”untung bibir” ternyata telah terinternalisasi dalam jiwa kita, kawanua ??

Akar Masalah
Jika kita hendak mencari solusi terhadap suatu persoalan, carilah dahulu substansi atau akar dari persoalan tersebut. Kita banyak ribut dan ”kebakaran jenggot” dengan Eceng Gondok, padahal Eceng Gondok hanyalah fenomena yang muncul oleh serangkaian persoalan yang ternyata disebabkan oleh tindakan kurang bijaksana dari Tou Minahasa sendiri. Namun karena Eceng Gondok juga menyebabkan masalah baru yang lebih kentara, maka wajar jika tumbuhan berbunga ungu ini menjadi ”sasaran tembak”. Tetapi, sekali lagi, masih ada lapis masalah yang lebih mendasar yang salah satu gejalanya adalah booming vegetasi termasuk booming Eceng Gondok.
Karena ledakan (booming) populasi Eceng Gondok hanyalah gejala dari sebuah akar masalah, maka yang harus ditelusuri adalah  kondisi apa yang menyebabkan gulma air tersebut membludak. Mengangkatnya dari danau memang merupakan salah satu cara yang dapat menanggulangi kepadatan populasi Eceng Gondok sekaligus dampak ikutannya seperti gangguan transportasi dan percepatan pendangkalan, namun hal tersebut hanyalah akan berlaku dalam jangka pendek. Selama faktor penyebab booming Eceng Gondok tak bisa ditangani, maka  pertumbuhan Eceng Gondok tetap akan kita saksikan.
Lalu, apa penyebab ledakan populasi tersebut ?
Penyebabnya adalah manusia.



Jangan kaget, jangan ”merah kuping”. Torang (kita) memang tanpa sadar menjadi trouble maker dalam problem ini. Ledakan populasi tumbuhan air merupakan tanda bahwa telah terjadi pencemaran nutrien (makanan) tumbuhan. Dalam kosakata lingkungan proses pengkayaan nutrien dikenal dengan istilah eutrofikasi. Danau yang sebelumnya miskin akan zat hara / nutrien lama kelamaan akan menjadi lebih kaya kandungan nutriennya. Proses ini sebenarnya merupakan proses alamiah yang wajar, namun menjadi tidak wajar ketika campur tangan manusia lewat berbagai aktifitasnya semakin mempercepat penambahan bahan nutrien kedalam danau. Akibatnya adalah kandungan nutrien berlebih merangsang pertumbuhan berbagai jenis alga dan tumbuhan air termasuk Eceng Gondok.
Apa yang dilakukan oleh manusia sehingga menjadi penyebab dari keterpurukan Danau Tondano ?
Tindakan manusia Minahasa yang menyebabkan semakin cepatnya proses eutrofikasi dimulai dengan penggundulan hutan di sekitar DAS Tondano. Gundulnya hutan atau terkonversinya hutan menjadi daerah pertanian dan pemukiman, menyebabkan peningkatan erosi yang membawa sedimen-sedimen mengandung nutrien tanaman (nitrogen dan fosfat) masuk ke dalam danau melalui aliran-aliran sungai.
Aktifitas pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi bagi pengkayaan nutrien di Danau Tondano, karena sisa-sisa pupuk (nutrien) juga dialirkan ke danau, terutama di lahan kebun atau sawah di sekitar danau.
Penggunaan detergen dan pembuangan sampah organik ke danau juga menyebabkan peningkatan kandungan nutrien danau ditambah lagi dengan sisa-sisa pembusukan tanaman air yang mati (apalagi disaat jumlah Eceng Gondok semakin banyak).
 Aktivitas masyarakat lainnya adalah peternakan di sekitar danau dan budidaya ikan mujair dan ikan mas dalam jaring tancap yang memberikan kontribusi nutrien melalui kotoran hewan dan sisa limbah pakan ikan.
Jadi, jelas bagi kita bahwa semua ini adalah karena kita gagal melakukan langkah-langkah ”pencegahan” dan akhirnya kita harus ”mengobati”. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati ?

Alternatif Solusi  

            Karena masalah yang dihadapi Danau Tondano tergolong masalah kompleks dan komplikatif, maka pengobatannya pun perlu menggunakan ramuan khusus. Kita ditantang untuk mengendalikan populasi Eceng Gondok dalam jangka pendek sebelum dia semakin ganas dan menggila.  tetapi juga untuk jangka panjang kita ditantang untuk mengurangi penambahan unsur hara ke danau supaya tidak terjadi pencemaran nutrien  di danau.
            Tindakan (bukan bicara) yang dibutuhkan saat ini perlu dilakukan sistematis dan simultan meliputi:
-          Pengangkatan Eceng Gondok secara besar-besaran dengan memanfaatkannya (Daun untuk pakan ternak, batang untuk kerajinan, akar dan sisa tanaman yang membusuk untuk kompos dan biogas).
-          Hijaukan kembali daerah tangkapan air (catchman area) DAS Tondano
-          Pengolahan air limbah pertanian sebelum masuk ke danau (dapat menggunakan eceng gondok).
-          Pembatasan budidaya ikan dalam jaring tancap.
-          Stop membuang sampah ke danau
-          Kurangi penggunaan detergen

Secara operasional, semua ini membutuhkan dana sehingga ditunggu komitmen Pemerintah Kabupaten Minahasa dan pemerintah provinsi Sulut. Namun demikian dibutuhkan juga peran setiap stakeholder termasuk masyarakat. jadi menjadi tanggung jawab kita juga untuk memberi kontribusi dalam “mengobati” Danau Tondano (MYT, 2007)

Fenomena Titanic dan Global Warming

Oleh: Meidy Y. Tinangon, SSi, MSi.
*Tulisan ini dimuat di Harian Komentar (Manado, Sulut) Juni 2007 dalam judul:

Rencana Lokal melawan Global Warming;




”Jika suatu ketika lapisan es di bumi mencair maka ketinggian permukaan air laut dapat dipastikan naik hingga 64 meter” demikian diungkap Antara news 23 Maret 2007. Nikolai Osokin, pakar glaciologi pada Institut Geografi, Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, memperkirakan, kota-kota ditepi pantai kemudian tenggelam di bawah permukaan air, termasuk Belanda, yang sebagian besar wilayahnya notabene berada di bawah permukaan air laut. Bagaimanapun juga, baik Belanda maupun seisi planet bumi yakin bahwa kehancuran yang luar biasa dapat terjadi setiap saat dalam beberapa ribu tahun mendatang.



Tema Hari Lingkungan Hidup sedunia (world environment day) tahun 2007 yang dipilih oleh Badan Lingkungan Hidup Dunia atau United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2007 adalah ”Melting Ice – A Hot Topic!” yang di Indonesia ditetapkan menjadi ”Iklim Berubah, Waspadalah Terhadap Bencana Lingkungan!” Tema tersebut, memberi titik tekan pada topik hangat (hot topic) lingkungan hidup global dalam beberapa tahun terakhir ini yaitu: pencairan lapisan es (melting ice) di kutub akibat  pemanasan global (global warming).

Pemanasan global adalah bencana global bagi peradaban global yang sepertinya belum kita sadari. Apalagi bagi kita yang masih terperangkap dalam suatu pola pikir (mind set) dan pola tindak yang saya istilahkan sebagai: ”fenomena penumpang Titanic”.

Kita bertahan dalam paradigma berpikir bahwa bumi ini ibarat ”kapal besar , kokoh dan tak mungkin tenggelam”. Sama dengan paradigma berpikir para penumpang kapal besar Titanic yang sangat kagum dan percaya diri memandang Titanic sebagai kapal yang megah, kokoh dan tak mungkin tenggelam. Namun, tanpa kita sadari ternyata bumi perlahan-lahan bocor, hancur dan tenggelam sementara para ”penumpang bumi” lambat menyadarinya, sama halnya dengan para penumpang Kapal Titanic.

Disamping paradigma berpikir ”fenomena penumpang Titanic” di atas, kita memang demikian gampang  untuk tidak menyadari bahwa bahaya lingkungan hidup global sudah berada di depan mata kita,  karena sifat dari bahaya global bernama pemanasan global tersebut memang tidak langsung membunuh tapi dampaknya terjadi secara perlahan-lahan dan sebenarnya kita sedang merasakannya saat ini.

Tanda-tanda terjadinya pemanasan global sebenarnya telah dan sedang kita rasakan, ketika orang Manado berujar: ”so lebe’ panas komang s’karang  kang ?”  Termometer alami dalam tubuh kita memang merasakan  daya sengat panas matahari saat ini lebih meningkat dibanding waktu-waktu yang lalu.

Tanda – tanda lainnya adalah ketika petani mengeluh karena musim yang tak menentu yang akhirnya mengacaukan pola tanam jenis yang bergantung pada keteraturan musim panas  dan hujan. Suatu kondisi yang berbeda dengan kondisi tempo dulu, dimana petani tahu persis kapan musim panas – kapan musim hujan.

Di beberapa tempat di Jawa dan Sumatera, dua minggu yang lalu terjadi gelombang pasang air laut yang menyebabkan ratusan warga mengungsi. Gelombang pasang  ini dapat  juga terjadi karena pengaruh pemanasan global dan melting ice. Di laut dampak bencana global ini juga mulai terkuak. Hasil penelitian Global Coral Reef Monitoring Network menunjukkan, lebih dari dua pertiga terumbu karang di seluruh dunia telah rusak, bahkan terancam punah. Ancaman ini tak lain karena adanya pemanasan global yang tengah terjadi.

Pemanasan global merupakan ancaman besar yang terjadi sebagai akibat dari serangkaian peristiwa, yang nantinya akan kita temui bahwa asal muasal terjadinya berawal dari tindakan manusia yang tidak mampu memprediksi dampak kedepan, sehingga tidak antisipatif dan lebih mengutamakan kepuasan ekonomi semata tanpa memperhitungkan aspek keberlanjutan (sustainable) dari suatu planet bumi yang cuma ada satu.

Kisah ”amarah bumi” ini memang berawal dari aktifitas manusia. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dampak dari Efek Rumah Kaca (ERK) yang sebenarnya adalah proses alami karena memungkinkan kelangsungan hidup semua makhluk di bumi. Tanpa adanya Gas Rumah Kaca, seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), atau dinitro oksida (N2O), suhu permukaan bumi akan 33 derajat Celcius lebih dingin.

Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di atmosfer (Gas Rumah Kaca) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya. Maka, panas matahari yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula. Semua proses itu lah yang disebut Efek Rumah Kaca.

ERK merupakan fenomena yang sama dengan yang bisa kita temui saat membiarkan mobil kita diparkir dalam keadaan panas terik dan kaca mobil tertutup rapat. Kita pasti akan merasakan panas yang hebat dalam ruang mobil kita, karena sisa panas yang masuk ke dalam mobil tak dapat dipantulkan keluar sebab tertahan lapisan kaca.

Sejak awal jaman industrialisasi, awal akhir abad ke-17, konsentrasi Gas Rumah Kaca meningkat drastis. Diperkirakan tahun 1880 temperatur rata-rata bumi meningkat 0.5 – 0.6 derajat Celcius akibat emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia.

Jenis GRK yang memberikan sumbangan paling besar bagi emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida, metana, dan dinitro oksida. Sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) di sektor energi dan transportasi, penggundulan hutan , dan pertanian . Sementara, untuk gas rumah kaca lainnya (HFC, PFC, SF6 ) hanya menyumbang kurang dari 1% .

Tahun 1988, Antony Milne dalam bukunya berjudul ”Dunia di Ambang Kepunahan” (judul asli: Our Drowning World) menulis bahwa manusia menjadikan  bumi rumah yang panas dengan cara penebangan pohon dan perusakan tumbuhan dalam jumlah yang besar. Karena bila bahan bakar fosil (dalam bentuk tanaman yang mati atau tertimbun) dibakar, dan bila pohon-pohon yang hidup ditebas, sejumlah besar karbon dioksida (CO2) dilepaskan ke dalam atmosfer.

Milne tidak sembarang bicara, dia mengungkap fakta hasil riset yang mencengangkan mengenai penggunaan bahan bakar fosil. Sejak Revolusi Industri, sebanyak 400.000 milyar ton gas CO2 dilepaskan ke udara. Dan sejak awal abad -20 kita menggunakan  begitu banyak batu bara, minyak dan minyak tanah untuk mengolah perekonomian kita  sehingga menambah 20 % jumlah gas ini. Sehingga diperkirakan sebanyak  5,5 milyar ton molekul karbon dipompa ke dalam ekosistem setiap tahun. Hal tersebut diperparah oleh perusakan hutan yang pertumbuhannya mencapai hutan klimaks membutuhkan waktu 50 sampai 100 tahun.  Padahal hutan (dan juga samudera) sering disebut sebagai paru-paru bumi yang mengendalikan keseimbangan oksigen dan karbondioksida. Jika Karbondioksida dalam jumlah yang berlebihan maka gas ini akan memerangkap atau manahan panas yang harusnya dipantulkan kembali ke atmosfer bagian atas. Disinilah muncul Efek Rumah Kaca (ERK).

Jadi, ERK menyebabkan panas bumi, disebabkan oleh emisi  GRK yang tinggi ke udara akibat penggunaan bahan bakar fosil dan berbagai bentuk kegiatan manusia yang melepas GRK, diperparah dengan degradasi hutan atau tumbuhan yang sebenarnya dapat menyerap CO2 lewat proses fotosintesis.

Apa yang perlu kita lakukan ?

Kondisi bumi yang panas akhirnya kita sadari merupakan ulah kita sendiri misalnya dengan menghasilkan emisi karbon dan menghilangkan hutan di lingkungan sekitar kita. Ancaman global berwujud pemanasan global, mau tidak mau harus kita tangani kalau ingin anak cucu kita menikmati kehidupan yang lebih sejuk dan nyaman.

Tak usah berbuat yang diluar batas kemapuan kita. Berbuatlah dahulu dalam skala lokal untuk menghadapi bahaya global. Kita memang hanya menempati setitik tempat dalam peta dunia, namun bukan berarti lokalitas kita yang kecil tidak bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi penanggulangan pemanasan global. Kita harus segera bertindak sebelum panas global yang meningkat akhirnya semakin mengacaukan iklim, mencairkan  es di kutub dan ancaman banjir global, gelombang pasang dan bahaya ikutan lainnya  menyerang kita.

Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ir. Rahmat Witoelar dalam sambutannya memperingati hari lingkungan 5 Juni 2007 mengungkap bahwa Indonesia akan memberi kontribusi global sebagai tuan rumah Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang akan berlangsung di Bali, 3 - 14 Desember 2007. Pertemuan yang akan dihadiri oleh 10.000 peserta dari 189 negara akan menyepakati berbagai upaya pencegahan pemanasan global yang sangat terkait dengan pelestarian hutan, adaptasi kenaikan permukaan air laut, perubahan iklim serta penggalangan dana internasional untuk kegiatan berkelanjutan. Dengan momentum ini, Indonesia akan berperan aktif dalam diplomasi internasional membela kepentingan lingkungan secara nasional dan global.

Sementara itu mengenai cara menghadapi ancaman global ini, pak Menteri menyebut dua kategori yaitu dengan upaya ”adaptasi” dan ”mitigasi”. Kegiatan beradaptasi antara lain menanam pohon. Kegiatan mitigasi atau pengurangan efek gas rumah kaca dapat dilakukan dengan hemat energi, tidak konsumtif, mengurangi dan mengelola sampah, serta efisiensi penggunaan transportasi.

Upaya-upaya sederhana perlu kita mulai sekarang dari rencana tindakan – tindakan lokal. Jika banyak region lokal bertindak dengan menanam pohon (penghijauan) maka tindakan lokal dalam kuantitas besar akhirnya menjadi kekuatan global menghadapi ancaman global. Pohon meningkat berarti membantu mengurangi gas CO2 di udara.

Menghemat energi dan tidak konsumtif perlu menjadi budaya hidup kita. Kita hidup di negara miskin namun penduduknya sangat konsumtif, sementara negara kaya sudah sejak lama memikirkan kembali perilaku mereka yang konsumtif dan mulai mebudayakan hidup hemat yang pro pelestarian lingkungan. Sampah harus diolah jangan menambah emisi karbon jika kita hanya berpikir timbun dan bakar. Daur ulang sampah dapat memberikan nilai tambah misalnya dengan mengolah sampah organik menjadi biogas dan pupuk organik sedangkan sampah anorganik dapat diolah menjadi bahan bermanfaat.

Semua itu harus dimulai dari munculnya kesadaran dan perubahan paradigma berpikir karena segalanya telah berubah tetapi - meminjam istilah Einstein – ”... yang belum berubah adalah cara berpikir kita”.

Kita harus mengubah paradigma berpikir dari paradigma ”Titanic tanpa kewaspadaan” menuju ”Titanic dengan kewaspadaan”. Bumi kita memang ibarat kapal yang besar – seperti Kapal Titanic – tapi, ingat bumi kita seperti juga Titanic bisa hilang keseimbangan, hancur dan menurut Anthony Milne sudah diambang kepunahan. Karena itu, tetap waspada dengan bertindak pro lingkungan. Sekali lagi, save the earth dan  waspadalah  !!!
(***)

Penulis, Sekretaris Lembaga Riset dan Pengembangan Sains FMIPA UKIT; Dosen Progdi Biologi Konsentrasi Biologi Lingkungan FMIPA UKIT;  Pudek Bid. Kemahasiswaan FMIPA UKIT; Penasehat Mapala ”Biofarma” FMIPA UKIT.