||Sumber informasi ilmu Biologi, Ekologi dan Lingkungan serta problem aktual lingkungan dan pembangunan||
Rubrik
- ARTIKEL (3)
- ARTIKEL EKOLOGI PERAIRAN (5)
- BIOLOGI LINGKUNGAN (1)
- BUMI RUMAH KITA (3)
- DAMPAK LINGKUNGAN (4)
- DANAU TONDANO (4)
- EFEK RUMAH KACA (2)
- EKOSISTEM DANAU (4)
- EUTROFIKASI (3)
- GLOBAL WARMING (3)
- KEBIJAKAN LINGKUNGAN (3)
- KONDISI LINGKUNGAN (3)
- LAPORAN RISET (1)
- MASALAH LINGKUNGAN (4)
- OUR EARTH (2)
- REFLEKSI EKOLOGI (4)
- SPESIS (1)
- STRATEGI PELESTARIAN (2)
- TAKSONOMI (1)
- WARTA (6)
Kamis, 07 Februari 2013
Program Studi Biologi Kembali Hasilkan Sarjana (SSi.)
Akhir tahun 2012 Program Studi Biologi (Biologi Lingkungan) MIPA UKI Tomohon (YPTK) kembali menelorkan 2 orang lulusan/sarjana (S1) sebagai implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Ketika menyandang gelar kesarjanaan (SSi.) / Sarjana Biologi Lingkungan, diharapkan nantinya mampu bersaing dalam dunia kerja yang saat ini semakin kompetitif. Bagi yang sudah bekerja, diharapkan dapat menggunakan 'skill' (sebagi seorang Sarjana Biologi) untuk meningkatkan kinerja & kreativitas agar lebih bermutu dan lebih berdayaguna. Good Luck....!!!
Rabu, 06 Februari 2013
Visitasi Jurusan Farmasi MIPA UKIT YPTK
Fakultas MIPA UKI Tomohon YPTK Program Studi Farmasi telah divisitasi oleh BAN PT (Asesor : Prof.DR.Karsono,Apt & DR.Sumantri,MSc.Apt) pada tanggal 9 s/d 11 Desember 2012. Hal tersebut dibuktikan dengan Surat Pernyataan Mengenai Pelaksanaan Asesmen Lapangan, yang ditandatangani oleh pihak Asesor dan oleh pihak MIPA UKIT yakni oleh S.D.Untu,SSi,MSi (selaku dekan/pimpinan unit pengelola program studi) dan Novel S.Kojong,SSi,MSi,Apt. (selaku Ketua Program Studi farmasi). Untuk 2 program studi lainnya yakni Program Studi Biologi (Biologi Lingkungan) dan Program Studi Matematika (Statistika), sementara menunggu jadwal kunjungan visitasi.
Selasa, 05 Februari 2013
EUTROFIKASI: Problema Ekologis pada Ekosistem Danau
juga terpublikasi 16 Agustus 2011 di
by. Meidy Y. Tinangon, M.Si.
Danau
adalah salah satu ekosistem enting karena fungsinya bagi
masyarakat.Diantaranya danau sering dimanfaatkan sebagai: sumber air
minum , penangkapan budidaya ikan, tempat cuci mandi, objek wisata dan
lain sebagainya. Namun, seperti halnya ekosistem lainnya di muka bumi
ini, danau tetap saja tidak bebas dari gangguan serta permasalahan
ekologis
Diantara masalah yang menarik serta perlu mendapat perhatian serius adalah masalah eutrofikasi (pengkayaan unsur hara). Proses
ini sebenarnya sifatnya agak alami dimana terdapat masukan unsur hara
dalam danau karena peristiwa-peristiwa dalam danau tersebut. Dalam
situasi alami tersebut, maka proses eutrofikasi dapat dikatakan
berlangsung lambat dan dalam keadaan seimbang. Namun menjadi masalah
ketika campur tangan manusia lewat berbagai aktifitas pemanfaatan danau
mulai mempengaruhi ekosistem danau. Proses ini kemudian dikenal sebagai eutrofikasi kultural.
Unsur
hara sangat berperan dalam meningkatnya eutrofikasi. Connell dan
Miller (1995) mengatakan bahwa tubuh air dengan sedikit aliran air,
seperti danau, bendungan, laut tertutup, dan sebagainya, menjadi
eutrofik melalui pengkayaan unsur hara dalam jangka waktu yang lama.
Aktifitas pemanfaatan danau dan ekosistem sekitar untuk berbagai
keperluan, memberi peluang bagi semakin tingginya tingkat eutrofikasi
pada ekosistem danau.
Bahaya dari proses eutrofikasi boleh dikatakan sangat besar dan mengancam keberlanjutan (sustainable) dari
ekosistem tersebut termasuk manusia sebagai pengguna ekosistem danau.
Eutrofikasi bukan hanya samapai pada proses semakin kayanya ekosistem
danau oleh unsur hara, tetapi menyangkut masalah yang lebih luas yaitu
dampak yang ditimbulkan oleh unsur hara yang semakin kaya. Dengan
kondisi unsur hara yang melimpah maka fenomena ekologis seperti blooming ganggang dan kemudian gulma air (aquatic weeds), pendangkalan danau dan masalah deoksigenasi serta penurunan kesehatan danau akan dengan mudah ditemui.
Namun
demikian, karena dampaknya yang tidak secara langsung dirasakan dan
terjadi lewat suatu pproses yang memakan waktu sehinggga eutrofikasi
sering disepelekan dalam program pengendalian dampak lingkungan. Berbeda
dengan masalah pencemaran yang lain yang dapat langsung dirasakan
dampaknya misalnya menyebabkan kematian.
Disadari
bahwa kurangnya perhatian terhadap masalah eutrofikasi, disebabkan
karena informasi tentang eutrofikasi itu sendiri yang kurang di ekspose
pada masyarakat dan pemerintah. Untuk itu maka perlu ada kajian ilmiah
yang nantinya akan mendeskripsikan apa dan bagaimana proses eutrofikasi
tersebut. Nantinya informasi tersebut dapat disampaikan kepada pihak
yang berkompeten.
II. DEFINISI DAN PROSES EUTROFIKASI
Menurut
Connell dan Miller (1995), Eutrofikasi diperikan pertama kali oleh
Weber pada tahun 1907 ketika ia memperkenalkan istilah oligotrofik,
mesotrofik dan eutrofik (Hutchinson, 1969). Istilah ini memerikan proses
eutrofikasi sebagai suatu rangkaian proses dari sebuah danau yang
bersih menjadi berlumpur oleh pengkayaan unsur hara tanaman dan
meningkatnya pertumbuhan tanaman. Sejak saat itu, terdapat banyak
pemerian dan kriteria untuk istilah ini serta pengenalan istilah baru
tersebut semakin berkembang.
OECD telah mencirikan eutrofikasi sebagai “pengkayaan
unsur hara pada air yang menyebabkan rangsangan suatu perubahan yang
simpomatik yang meningkatkan produksi ganggang dan makrofit, memburuknya
perikanan, memburuknya kualitas air dan perubahan simpomatik lainnya
yang tidak dikehendaki serta mengganggu penggunaan air” (Wood, 1975 dalam Connell dan Miller, 1995).
Akumulasi alami dari nutrien dalam danau disebut eutrofikasi alami (natural eutrophication).
Akumulasi nutrien dan erosi alami dapat dengan waktu yang sufisien,
mentransformasi danau kedalam tanah rawa dan kemudian tanah kering,
sebuah proses yang disebut suksesi alami (natural succesion).
Dalam proses ini nutrien inorganikmerangsang pertumbuhan tanaman;
tumbuhan suatu saat mati dan menyumbang sedimen organik kedalam dasar
danau (Chiras, 1988).
Dalam
proses eutrofikasi alamiah, detritus tanaman, garam-garaman, pasir dan
sebagainya dari suatu daerah aliran masuk dalam aliran air dan disimpan
dalam badan air selama waktu geologis. Ini menyebabkan pengkayaan unsur
hara, sedimentasi, pengisian dan peningkatan biomassa (Connell dan
Miller, 1988).
Danau-danau
oligotrofik secara tiba-tiba menjadi lebih kaya atau eutrofik dengan
tertimbunnya zat-zat makanan pada saat mereka menjadi lebih tua. Di alam
eutrofikasi menghasilkan suatu keseimbangan dan ini dapat dilihat
dengan perbedaan susunan komunitas pada tubuh air oligotrofik dan
eutreofik. Pada air eutrofik alami, plankton berlimpah, perkembangan
ganggang merupakan hal yang umum. Terdapat imbangan yang baik pada
bahan-bahan organik baik dalam larutan maupun pada dasarnya. Eutrofikasi
menjadi sebuah masalah jika disebabkan oleh campur tangan manusia,
karena hal-hal yang seperti inilah jangka waktu menjadi berkurang
sehingga keseimbangan secara sehingga keseimbangan secara alami
berkurang (Michael, 1994).
Eutrofikasi
buatan sebagai hasil kegiatan manusia menambah kekurangan oksigen dalam
zone profundal. Jadi ikan yang stenotermal, yang dapat bertahan pada
suhu rendah, hanya hidup dalam danau “miskin”, dimana air di bagian
dalam yang dingin tidak kekurangan oksigen. Jenis-jenis seperti ini
adalah yang pertama kali menghilang di Great Lakes di Amerika serikat.
Organisme rendah (berlawanan dengan ikan) dari zone profundal
beradaptasi untuk tahan terhadap kekurangan oksigen dalam jangka waktu
yang panjang (Odum, 1991).
Diutarakan
juga oleh Conell dan Miller (1988), bahwa kegiatan manusia sangat
mempengaruhi pengkayaan unsur hara dan eutrofikasi. Pada kenyataanya,
dalam waktu 100 tahun terakhir banyak danau yang memperlihatkan
pengkayaan unsur hara sangat cepat yang disebabkan oleh pencemran.
Buangan, seperti limbah rumah tangga, aliran dari bak penampungan
kotoran, beberapa limbah industri, aliran dari perkotaan, aliran dari
pertanian dan pengelolaan hutan, serta limbah hewan mengandung unsur
hara tanaman yang seringkali menyebabkan pengkayaan unsur hara dan
mempercepat eutrofikasi.
Menurut
Michael (1994), pengaruh terbesar eutrofikasi terlihat pada air-air
yang tenang, hasil yang nyata adalah suatu perkembangan ganggang.
Seringkali lapisan ganggang dan kotoran bebek menutupi seluruh permukaan
yang menyebabkan deoksigenasi pada air-air dibawahnya dimana
fotosintesis berhenti disebabkan putusnya pencahayaan oleh lapisan
ganggang. Pada saat ganggang ini mati dan terurai, terjadi penurunan
oksigen yang terurai lebih lanjut.
III. DANAU DAN TINGKAT EUTROFIKASI
Danau
dapat diklasifikasikan berdasarkan produktifitas primernya.
Produktifitas atau kesuburan danau tergantung pada nutrisi yang
diterimanya dari perairan regional, pada usia geologis dan pada
kedalaman. Berdasarkan produktifitas, danau dibagi atas danau oligotrofik dan eutrofik.
Danau oligotrofik biasanya dalam, dengan hipolimnion lebih besar dari
epilimnion, dan mempunyai produktifitas primer rendah. Tanaman di daerah
littoral jarang dan kerapatan plankton rendah, walaupun jumlah jenis
yang ada mungkin tinggi. Danau eutrofik adalah lebih dangkal dan
produktifitas primernya lebih tinggi, vegetasi littoral lebih lebat dan
populasi plankton lebih rapat (Odum, 1971).
Selanjutnya Thohir (1991) dan Soeriaatmaja (1981) mengungkapkan fase-fase perkembangan kehidupan di danau, yang terdiri dari: oligotrofi, mesotrofi, eutrofi dan distrofi. Danau oligotrofi, keadaan
airnya jernih, bahan organik yang dikandung sedikit, kerapatan hewan
dan tumbuhan rendah, suhu air relatif rendah, bahan makanan sedikit
tetapi kaya oksigen. Danau oligotrofi lama kelamaan akan meningkat
aktifitas biologisnya dan menjadi danau mesotrofi, dimana air
menjadi lebih keruh, produksi bahan organik bertambah, kesuburan danau
lebih tinggi namun belum mencapai kesuburan optimal. Jika kesuburan
danau telah mencapai titik optimal, danau tersebut disebut danau eutrofi.
III. UNSUR HARA PENYEBAB EUTROFIKASI
Hara makanan tumbuhan merupakan salah satu kelompok pencemar di perairan . Senyawaan ini biasanya kaya akan nitrogen dan fosfor
serta menstimulasi pertumbuhan tanaman secara berlebihan (Connell dan
Miller, 1998). Menurut Michael (1995), pertanyaan tentang apakah fosfat
atau nitrogen yang mepunyai pengaruh paling serius terhadap
eutrofikasi, tetap diperdebatkan, tidak diragukan lagi bahwa keduanya
memberikan sumbangan yang khas.
Ketersediaan
nitrogen dan fosfor bagi tanaman yang sedang tumbuh bergantung pada
serangkaian reaksi biologis perantara yang rumit. Nitrogen terdapat di
lingkungan perairan dalam beragam bentuk dan gabungan kimiawi yang luas
yang meliputi keadaan oksidasi yang berbeda. Nitrogen organik terikat
pada unsur pokok sel dari makhluk hidup, sebagai contoh, purin, peptida
dan asam amino, sedangkan nitrogen anorganik, sebagai contoh, amonia,
nitrit, nitrat dan gas nitrogen, terlarut dalam massa air. Perubahan
bentuk dalam massa air dari nitrogen anorganik menjadi nitrogen organik
terjadi oleh pertumbuhan fotosintesis pada tanaman air. Kebalikan dari
proses ini menghasilkan pembentukan amonia dari bahan organik oleh
sejumlah mekanisme yang melibatkan otolisis sel, jasad renik dan
pembuangan dari makhluk hidup besar. Amonia dapat hilang dari air oleh
penguapan tetapi oksidasi menghasilkan nitrifikasi terutama oleh jasad
renik, dan menghasilkan nitrat yang tidak dapat menguap. Nitrat dapat
melakukan proses denitrifikasi yang dapat menyebabkan hilangnya gas
nitrogen dan masuk ke dalam atmosfer (Brezonik 1972 dalam Connell
dan Miller, 1998). Senyawa nitrogen yang dapat diasimilasikan oleh
tumbuhan, menurut Suseno (1974) dapat dibagi dalam 4 golongan besar
yaitu: Nitrogen nitrat, Nitrogen Amoniak, Nitrogen Organik dan Nitrogen
Molekulair (N2). Namun demikian sumber utama bagi tumbuhan yang terpenting adalah ion Nitrat.
Mengenai
fosfor dikatakan oleh Connell dan Miller (1998), bahwa fosfor terdapat
dalam suatu keadaan oksidasi tunggal sebagai fosfor anorganik atau
fosfor organik. Bentuk anorganik terutama adalah ortofosfat (PO43-)
dan polifosfat. Bentuk organik selalu digabungkan dengan senyawaan zat
selular dan sebagian besar fosfor dalam air alamiah adalah dalam bentuk
organik. Bentuk anorganik, khususnya ortofosfat, siap diasimilasi selama
fotosintesis.
Selanjutnya dikatakan bahwa sumber pencemaran utama dari unsur hara adalah bagian permukaan dan bagian di bawah permukaan (subsurface) aliran
air dari daerah pertanian dan perkotaan, aliran limbah ternak, seperti
halnya buangan limbah cair industri dan rumah tangga termasuk aliran
kotoran. Limbah-limbah ini terdiri dari bermacam-macam zat yang
mengandung nitrogen dan fosfor. Sebagai contoh, nitrogen terdapat dalam
bentuk nitrogen organik, amoniak, nitrit, nitrat yang diturunkan dari
protein, asam nukleat, urea dan zat-zat lainnya. Senyawa fosfor
dihasilkan dari degradasi senyawa seperti asam nukleat dan fosfolipid
serta dalam bentuk fosfat anorganik. Fosfor juga dapat berasal dari
pembentuk fosfat di dalam detergen. Ini dapat siap dihidrolisis untuk
menghasilkan ortofosfat yang siap diasimilasi oleh tumbuh-tumbuhan.
Sumber utama nitrogen dan fosfor dalam daerah perairan dihasilkan dari
produksi makanan atau limbah dalam bentuk aliran air kotor.
IV. DAMPAK EUTROFIKASI TERHADAP BIOTA AIR
Connell
dan Miller (1995) menguraikan 3 perubahan ekosistem yang disebabkan
oleh pengkayaan unsur hara dan eutrofikasi yaitu: Perubahan dalam
metabolisme komunitas, Perubahan populasi dan komunitas dengan
pengkayaan unsur hara, ciri-ciri kriteria untuk keadaan tropik.
Menyangkut
pengaruh eutrofikasi terhadap perubahan populasi dan komunitas, dalam
Connel dan Miller (1995) dikatakan bahwa dengan adanya fitoplankton di
dalam danau terdapat suatu perubahan musiman pada komposisi komunitas
yang berhubungan dengan suhu, cahaya dan faktor musiman lainnya. Welch
(1980) dalam Connel dan Miller (1995) menyatakan bahwa di daerah
beriklim sedang, umumnya Diatomae mendominasi pada saat musim semi,
ganggang hijau pada musim panas, ganggang biru hijau pada akhir musim
panas dan mungkin diatomae pada akhir musim gugur. Namun terdapat
keragaman yang dapat diduga dalam pola ini, karena fitoplanklton yang
berbeda juga memiliki dinamika yang berbeda dan kebutuhan-kebutuhan
terhadap nitrogen, fosfor, karbondioksida serta faktor lainnya, yang
menghasilkan perubahan dalam komposisi komunitas dengan meningkatnya
eutrofikasi. Perubahan yang mencolok dengan meningkatnya unsur hara
adalah ganggang biru-hijau (Cyanophyceae) meningkat menjadi dominan.
Sementara
itu Suriawirya (1995) mengatakan bahwa dalam mikrobiologi air, beberapa
jasad tertentu dapat dijadikan jasad parameter / indikator alami
terhadap kehadiran pencemaran oganik. Misalnya bakteri Sphaerotilus
sebagai petunjuk kandungan senyawa organik tinggi dalam air. Mikroalga Anabaena dan Mycrocystis dapat menjadi petunjuk untuk kehadiran senyawa fosfat yang tinggi.
Pengaruh
utama dari meningkatnya eutrofikasi pada ikan adalah disebabkan oleh
berkurangnya oksigen yang terlarut. Berkembangnya ganggang beracun pada
umumnya meningkat dengan meningkatnya eutrofikasi. Hal ini dapat
menyebabkan kematian sejumlah besar mahluk hidup air dan hewan daratan
yang menggunakan air (Connel dan Miller, 1995).
V. KESIMPULAN / PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Eutrofikasi
adalah suatu proses yang terjadi karena danau semakin kaya oleh unsur
hara. Hal ini dapat terjadi secara alami atau secara buatan karena
campur tangan manusia.
2. Ada
beberapa unsur hara yang menyebabkan kesuburan danau, namun yang
berperan utama dalam proses eutrofikasi adalah Nitrogen dan Fosfor yang
berasal dari: produksi alami, limbah rumah tangga, erosi, limbah ternak,
pupuk dan penguraian bahan organik.
3. Eutrofikasi
dapat menyebabkan: Ledakan populasi ganggang, berkembangnya gulma air,
deoksigenasi dan kematian ikan serta mempercepat pengotoran air
(berlumpur) dan pendangkalan air danau.
DAFTAR PUSTAKA
Chiras, D.D., 1988. Environmental Science- A Framework for Decicion Making. The Benjamin / Cumming Publishing comp, INC
Connell, D.W., dan Miller, G.J. 1985. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran,
Cole, G.A., 1979. Textbook of Limnology. McGraw-Hill Book Company. New York USA.
Michael, P., 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang Dan Laboratorium. UI Press Jakarta
Odum, E.P., 1971. Dasar-dasar Ekologi. Gajah Mada University Press.
Sastrawijaya, A.T.1986. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta Jakarta.
Soeriaatmaja, R.E., 1981. Ilmu Lingkungan. ITB Bandung
Suriawirya, U., 1995. Mikrobiologi Air. Alumni Bandung.
Suseno, H., 1974. Fisiologi Tumbuhan, Metabolisme Dasar. Dept. Botani IPB Bogor.
Thohir, K.A. 1991. Butir-butir Tata Lingkungan. Rineka Cpta Jakarta
Menelusuri Problema Danau Tondano
“Pendangkalan, Eutrofikasi
dan Eceng Gondok”
Oleh: Meidy Tinangon
- · Trend penurunan kedalaman / pendangkalan danau Tondano
Dari berbagai sumber Daerah Aliran Sungai (DAS) Danau Tondano memiliki manfaat besar pada upaya pemenuhan kebutuhan manusia, seperti sumber air bersih melalui PDAM ke Kota Manado sebanyak 25.296 pelanggan. Kemudian sumber distribusi listrik PLTA Tonsea Lama sekitar 14,4 Megawatt (MW), PLTA Tanggari Satu 18 MW, PLTA Tanggari II 19 MW, PLTA Sawangan 16 MW. Di sektor perikanan ada produksi ikan sekitar 534 ton. Bahkan bisa menyuplai air ke 3.000 hektar sawah padi diseputaran danau tersebut serta bisa dimanfaatkan pada sektor wisata.
Namun demikian fungsi yang
dwemikian besar tersebut, saat ini menjadi terancam akibat berbagai masalah
yang dialami danau Tondano. Salah satu persoalan yng mengemuka saat ini adalah
pendangkalan danau Tondano. Dari berbagai sumber, penurunan kedalaman danau Tondano dapat
dilihat di bawah ini.
Tahun
|
Kedalaman
Maksimal
|
Analisis
penurunan
|
1934
|
40 m
|
·
Tahun 1934-1974:
Selama
40 tahun , penurunan sebesar 12 m.
Berarti rata-rata penurunan per tahun adalah = 12 m / 40 thn = 0,3 m (30
cm); atau penurunan setiap 10 tahun =
12/4 = 3 m.
·
Tahun 1974-1983
Selama
9 tahun, penurunan sebesar 1 m. Rata-rata penurunan per tahun= 0,11 m (11 cm)
·
Tahun 1983-1987
Dalam
kurun waktu 4 tahun terjadi penurunan
7 m atau penurunan per thn = 1,75 m
(175 cm)
·
Tahun 1987-1992
Dalam
kurun waktu 5 tahun, terjadi penurunan 4 m. Penurunan per tahun = 0,8 m
(80cm)
·
Tahun 1992-1996
Dalam
4 tahun, penurunan hanya 1 m. Per
tahun = 0,25 m/thn (25 cm)
|
1974
|
28m
|
|
1983
|
27 m
|
|
1987
|
20 m
|
|
1992
|
16 m
|
|
1996
|
15 m
|
Perubahan Kedalaman Danau Tondano |
Jika dihitung dari data awal yang ada yaitu tahun
1934(40m) hingga data terakhir tahun
1996 (15m), maka penurunan selama 52 tahun sebesar 25 m, atau rata-rata
penurunan per tahun adalah 25 m/ 52 thn = 0,48
m atau 48 cm.
Yang perlu diperhatikan
adalah pada tahun 1996, kehadiran gulma air Eceng Gondok (Eichornia crassipes) belum seperti sekarang ini. Artinya capaian
kedalaman 15 m waktu itu belum terlalu dipengaruhi oleh pertumbuhan eceng
gondok. Nah, jika kedalaman saat ini setelah 15 tahun dari 1996 telah banyak
dipengaruhi oleh eceng gondok, bisa saja penurunan kedalaman per tahun bukan
hanya 48 cm tetapi lebih dari itu.
Jika pun faktor eceng
gondok kita abaikan, dengan mengambil perhitungan penurunan kedalaman 48 cm / tahun maka penurunan kedalaman danau
tahun 2011 (15 tahun setelah 1996) dapat diprediksi menjadi 15 thn x 48 cm = 720 cm atau 7,20 m. Ini berarti kedalaman danau diprediksi telah berkurang 7,2
m dan tertinggal berkisar pada angka 7,8
m ! berapa lama lagi waktu yang diperlukan untuk menghapus danau Tondano
yang dalamnya tinggal 7,8 m itu dari peta ? (meskipun perlu data empirik
terakhir, ini hanya perhitungan kasar saja).
Jika penurunannya tetap
0,48 m per tahun, maka waktu yang dibutuhkan tinggal 16 ¼ tahun dari sekarang. Berarti prediksi
matematis ini, memprediksi bahwa pada tahun
2027 kedalaman danau tinggal 0 m
dan danau tondano bukan lagi danau, tetapi berubah wujud menjadi rawa bahkan
daratan. Ini mungkin saja terjadi jika kita hanya tinggal diam. Simpelnya,
cobalah biarkan eceng gondok tumbuh subur tak diangkat, pasti dalam 1 – 2 tahun
seluruh danau telah ditumbuhi eceng gondok yang lama-lama akan semakin menjadi
penyebab pendangkalan dan penjebak lumpur....
Dampak Pendangkalan
Dampak pendangkalan danau,
telah dan sedang dirasakan oleh masyarakat saat ini. Banjir yang dialami oleh masyarakat di
beberapa desa pinggiran danau maupun sungai Tondano adalah salah satu contoh
aktual dari terjadinya pendangkalan danau. Meskipun pendangkalan danau bukanlah
satu-satunya faktor penyebab banjir, namun berkurangnya kapasitas tampung wadah
danau atau sungai akibat pendangkalan yang pasti menyebabkan peluapan air
ketika jumlah input / masukan air lebih besar dibanding kapasitas tampung dan
kemampuan pembuangan, yang diperparah oleh penahanan air di pintu air PLN
tonsealama.
Dalam jangka panjang
pendangkalan sebagai bagian dari proses suksesi
danau akan merubah fisiografi dan karakteristik habitat dari ekosistem danau
menjadi rawa berlumpur dan kemudian daratan.
Penyebab Pendangkalan
Ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya pendangkalan yang
pada prinsipnya merupakan peristiwa sedimentasi atau pengendapan partikel padat
seperti lumpur di dasar danau dansungai.
Faktor penyebab tersebut adalah:
1.
Erosi tanah
permukaan . Tanah di pegunungan / daratan sekitar danau terkikis disaat hujan.
Tingkat erosi semakin besar karena daerah penyangga seperti hutan semakin
kritis. Data tahun 2001, keadaan hutan di DAS Tondano tinggal 8,75 % .
2.
Sedimentasi
organik seperti oleh tumbuhan air Arakan
(Hydrilla verticilata) dan Eceng Gondok (Eichornia crassipes). Tumbuhan air ini jika mati akan menumpuk dan
mengendap di dasar danau. Apalagi proses pengendalian secara fisik dilakukan
kurang sempurna dimana eceng gondok yang di angkat hanya dibiarkan di tepi
danau. Akibatnya terjadi percepatan pembentukan rawa dan daratan di beberapa
tempat di tepi danau. Hal ini bukan saja menyebabkan pendangkalan tetapi
sekalian menyebabkan penyempitan danau.
3.
Pembuangan
sampah. DanauTondano masih menjadi tempat yang empuk untuk tempat pembuangan
sampah baik secara langsung ke badan air danau atau melalui sungai yang
bermuara di danau Tondano.
Faktor mana yang lebih
besar mempengaruhi proses sedimentasi, butuh kajian lebih lanjut. Namun
demikian, eceng gondok punya potensi yang tak bisa terhalang oleh waktu dan
kondisi musim. Baik musim hujan maupun panas, tumbuhan ini tetap tumbuh subur
di danau yang semakin subur lewat proses penyuburan danau (eutrofikasi). Jadi baik di musim panas maupun hujan tumbuhan ini berpotensi mempercepat
laju pendangkalan danau. Sementara erosi tanah, lebih kentara di musim hujan.
- Eceng Gondok, Eutrofikasi, Pendangkalan dan Penyempitan Danau
Sejak kapan
tumbuhan air (aquatic plants) eceng
gondok menempati habitat barunya yaitu danau Tondano ? Dari penelusuran data
yang ada, Eceng Gondok (Eichornia
crassipes) belum ditemukan oleh peneliti sampai tahun 1995. Data perubahan
komposisi tumbuhan air dari beberapa peneliti menunjukan adanya perubahan komposisi jenis tumbuhan air
di danau Tondano.
1.
Data dari Rondo (1977), dan Soerjani dkk, (1979) menyatakan komposisi tumbuhan
air sebagai berikut: Pistia stratiotes, Spirodela polyrhiza, Azolla piƱata,
Lemna minor, Ceratophylum demersum, Hydrilla verticillata, Najas indica, dan Potamogeton
malaianus.
2.
Sementara hasil penelitian Tamanampo dkk (1995)
melaporkan komposisi spesies yang hanya terdiri dari 6 spesies yaitu: P.
malaianus, H. verticillata, C. demersum, dan N. indica, P. stratiotes, Ludwigia
adscendens.
3.
Penelitian Tinangon, (1999) selain ke enam jenis di atas,
ditemukan juga polygonum sp., Ipomea aquatica, Eichornia crassipes, dan Paspalum sp.
Data terakhir di atas, menjadi
catatan karena selain masuknya eceng gondok dalam daftar spesies tumbuhan air
di danau Tondano, eceng gondok langsung menempati urutan pertama dalam hal
kerapatan / biomassa sehingga menjadi tumbuhan air yang dominan sejak saat itu
atau di kisaran tahun 1996 ke atas.
Eceng gondok termasuk tanaman
yang “rakus” sehingga sangat senang tumbuh di daerah yang banyak makanannya (nutrien) berupa unsur-unsur hara
terutama Nitrogen (N) dalam bentuk nitrat (NO3), amoniak (NH3)
dan Fosfor (P) dalam bentuk fosfat/orthofosfat (PO4). Semakin banyak
senyawa-senyawa tersebut, maka semakin subur suatu danau. Ini berarti tingkat
eutrofikasi semakin tinggi.
Sumber pencemaran utama
dari unsur hara adalah
bagian permukaan dan bagian bawah permukaan (subsurface)
aliran air dari daerah pertanian dan perkotaan, aliran limbah ternak, seperti
halnya buangan limbah cair industri
dan rumah tangga termasuk aliran kotoran. Limbah-limbah ini terdiri dari bermacam-macam zat
yang mengandung nitrogen dan fosfor. Sebagai contoh, nitrogen terdapat dalam
bentuk nitrogen organik, amoniak, nitrit, nitrat yang diturunkan dari protein,
asam nukleat, urea dan zat-zat lainnya. Senyawa fosfor dihasilkan dari
degradasi senyawa seperti asam nukleat dan fosfolipid serta dalam bentuk fosfat
anorganik. Fosfor juga dapat berasal dari pembentuk fosfat di dalam detergen.
Ini dapat siap dihidrolisis untuk menghasilkan ortofosfat yang siap diasimilasi
oleh tumbuh-tumbuhan. Sumber utama nitrogen dan fosfor dalam daerah perairan
dihasilkan dari produksi makanan atau limbah dalam bentuk aliran air kotor. Di danau Tondano, sumber-sumber nutrien
tersebut adalah: erosi permukaan tanah, sisa-sisa pupuk dan deterjen, sisa
pakan ikan, limbah ikan serta penguraian tumbuhan dan hewan air yang mati.
Data terakhir yang sempat dihimpun mengenai
konsentrasi nitrat dan fosfat adalah hasil survey M. Tinangon akhir tahun 2009
yang mendapati hasil sebagai berikut, dimana nilai tersebut menunjukan bahwa danau Tondano telah masuk
dalam kelompok DANAU EUTROFIK atau Danau yang tingkat kesuburannya sangat
tinggi dengan demikian telah terjadi pencemaran nutrien di Danau Tondano:
Range
/ kisaran konsentrasi nitrat dan fosfat untuk masing-masing stasiun penelitian
(Tinangon, 2009)
Stasiun
|
Range / Kisaran Konsentrasi
|
|
Nitrat
(mg/L)
|
Fosfat
(mg/L)
|
|
I (Eris)
|
0,75 – 1,08
|
0,015 –
0,290
|
II (Kakas)
|
1,36 - 3,96
|
0,050 –
0,570
|
III (Remboken)
|
2,08 – 2,97
|
0,225 -
0,360
|
IV (Toulour)
|
2,51 – 5,25
|
0,410 –
1,017
|
Danau yang
demikian subur ini telah mendukung kehidupan flora akuatik berbentuk fitoplankton (tumbuhan air hijau bersifat
mikro dan melayang di perairan danau). Survey Tinangon (2009) , kelimpahan
fitoplankton mencapai 3646 sel/Liter. Jadi dalam 1 liter air danau terdapat
3646 sel fitoplankton ! Fitoplankton adalah juga pengguna nitrat dan fosfat,
selain itu jika mati akan meberikan kontribusi kembali pada penyuburan danau
disaat tumbuhan ini terdekomposisi. Seperti halnya juga eceng gondok.
Potensi sumber pencemar
nutrien di danau Tondano, menurut Tinangon (2009) “Analisis Nitrat dan Fosfat serta Struktur Komunitas Fitoplankton
sebagai indikator eutrofikasi pada ekosistem danau Tondano”, adalah:
Karakteristik
bagian danau
|
Sumber-sumber
Nutrien (N dan P)
|
Daerah budidaya ikan
|
·
Sisa pakan ikan ; Limbah ikan
budidaya
·
Limbah rumah tangga
·
Erosi permukaan daratan; Penguraian
tumbuhan dan fitoplankton yang mati
|
Daerah pertanian
|
·
Sisa pupuk
·
Aliran sedimen dari sungai
·
Kotoran ternak itik
·
Penguraian sisa tanaman dan
fitoplankton
|
Daerah pariwisata dan pemukiman
|
·
Limbah dari objek wisata
·
Limbah rumah tangga termasuk
detergen
·
Limbah ternak dan pertanian dari
daratan yang masuk melalui sungai
·
Penguraian sisa tanaman dan
fitoplankton
·
Sisa pakan ternak
|
Daerah Outlet (aliran keluar air)
|
·
Dekomposisi tumbuhan air yang
melimpah
·
Daerah pertanian sekitar (pupuk)
·
Aliran bahan organik dari perairan
sekitar
·
Penguraian fitoplankton
|
Kehadiran eceng
gondok berperan juga dalam pendangkalan
danau, karena jika tumbuhan ini mati
maka dia akan menumpuk cukup lama di dasar danau sebelum akhirnya hancur
dan terurai. Disamping itu, tumbuhan ini juga menjadi semacam “perangkap
lumpur”. Kehebatan eceng gondok, apalagi dengan sistem pengendalian yang kurang
baik karena hanya dibiarkan di tepi danau, akan sangat berpotensi membentuk
rawa dan daratan baru di tepi danau sehingga menyebabkan penyempitan danau.
Penguapan oleh eceng gondok disaat musim panas juga menjadi masalah karena
diduga cukup signifikan mengurangi volume air di musim panas.
- CONTROL BY USE: Alternatif Solusi Untuk Eceng Gondok
Salah satu solusi
alternatif bagi pengendalian eceng gondok adalah pengendalian dengan
pemanfaatan (Control by Use / CBU). Maksudnya, eceng gondok dikendalikan
populasinya dengan cara diangkat dari permukaan air secara masif dan rutin,
kemudian di bawa ke tempat penampungan untuk diolah menjadi bahan kerajinan,
biogas, pupuk bahkan pakan ternak. Jadi, disamping dikendalikan populasinya,
masyarakat dan pemerintah mendapatkan nilai tambah, sehingga masalah bisa
dirubah menjadi peluang secara cerdas.
Penanganan selama ini,
hanya menghilangkan eceng gondok secara sementara saja dan memberikan dampak
yang kurang baik. Eceng gondok yang dibiarkan di tepi danau, bisa kembali
bertumbuh secara vegetatif dengan stolonnya. Disamping itu menyebabkan
pendangkalan dan pembentukan daratan di tepi danau. Pengangkatan juga
sebagiknya dilakukan disaat sebelum tumbuhan ini berbunga untuk mencegah
penyebaran benih / spora eceng gondok yang bisa mencapai ribuan bakal tanaman
pada setiap indibidu yang telah berbunga.
(penulis, Pengajar Ekologi FMIPA UKIT, Ketua Gerakan Minahasa Muda)
Langganan:
Postingan (Atom)