Ayo lawan COVID-19: StayAtHome-Jaga Jarak-Hindari Kerumunan-Pakai Masker-Jaga Kondisi Tubuh

Jumat, 01 Februari 2013

Mencari Solusi Problema Lingkungan DANAU TONDANO



Oleh:
Meidy Y. Tinangon

Orang Minahasa dimanapun berada, yang sempat melihat langsung Danau Tondano, pasti  prihatin dengan kondisi danau kebanggaannya tersebut.  Secara kasat mata, danau yang menjadi salah satu ”primadona pariwisata kawanua” saat ini dipenuhi oleh salah satu spesies tumbuhan air yang dikenal sangat cepat pertumbuhannya yaitu Eceng Gondok yang dalam bahasa ilmiah (scientific name) dikenal dengan Eichornia crassipes.

Dalam laporan Tamanampo dkk peneliti dari Fakultas Perikanan Manado, Tahun 1995 Tumbuhan air yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan Water hyantich  ini belum ditemui. Komunitas tumbuhan akuatik di Danau Tondano kala itu masih didominasi oleh tumbuhan jenis arakan (Hydrilla verticilata) dan tanaman terbenam-berakar di dasar danau lainnya.
Namun survey penulis tahun 1999 (selang waktu 4 tahun) Eceng Gondok telah eksis dan menjadi spesies dominan dalam struktur komunitas tumbuhan air di Danau Tondano. Semenjak itu, perhatian pemerintah maupun masyarakat kawanua mulai diarahkan ke ekosistem kebanggaan Tou Minahasa tersebut. Berbagai wacana maupun aksi nyata telah dilakukan semua komponen terkait dengan target : selamatkan Danau Tondano, berantas Eceng Gondok !. Tetapi hingga saat   ini, torang masih berkutat dalam wacana dan aksi yang masih cenderung asal tembak, tidak sistematis dan tanpa sinergi. Hasilnya ?  Sampai saat ini Eceng Gondok masih menguasai Danau Tondano dan berarti menguasai Tou Minahasa.
Foto Udara Outlet Danau Tondano
Kalau dengan Eceng Gondok saja kita kalah bersaing, apalagi dengan kompetisi global yang semakin menggila sekarang ini ? Mungkinkah tak ada alternatif solusi untuk menanggulangi Eceng Gondok ?? Ataukah solusi ada namun hanya sampai pada konsep tanpa ada good will  untuk action ?? Mungkinkah benar stigma ”untung bibir” ternyata telah terinternalisasi dalam jiwa kita, kawanua ??

Akar Masalah
Jika kita hendak mencari solusi terhadap suatu persoalan, carilah dahulu substansi atau akar dari persoalan tersebut. Kita banyak ribut dan ”kebakaran jenggot” dengan Eceng Gondok, padahal Eceng Gondok hanyalah fenomena yang muncul oleh serangkaian persoalan yang ternyata disebabkan oleh tindakan kurang bijaksana dari Tou Minahasa sendiri. Namun karena Eceng Gondok juga menyebabkan masalah baru yang lebih kentara, maka wajar jika tumbuhan berbunga ungu ini menjadi ”sasaran tembak”. Tetapi, sekali lagi, masih ada lapis masalah yang lebih mendasar yang salah satu gejalanya adalah booming vegetasi termasuk booming Eceng Gondok.
Karena ledakan (booming) populasi Eceng Gondok hanyalah gejala dari sebuah akar masalah, maka yang harus ditelusuri adalah  kondisi apa yang menyebabkan gulma air tersebut membludak. Mengangkatnya dari danau memang merupakan salah satu cara yang dapat menanggulangi kepadatan populasi Eceng Gondok sekaligus dampak ikutannya seperti gangguan transportasi dan percepatan pendangkalan, namun hal tersebut hanyalah akan berlaku dalam jangka pendek. Selama faktor penyebab booming Eceng Gondok tak bisa ditangani, maka  pertumbuhan Eceng Gondok tetap akan kita saksikan.
Lalu, apa penyebab ledakan populasi tersebut ?
Penyebabnya adalah manusia.



Jangan kaget, jangan ”merah kuping”. Torang (kita) memang tanpa sadar menjadi trouble maker dalam problem ini. Ledakan populasi tumbuhan air merupakan tanda bahwa telah terjadi pencemaran nutrien (makanan) tumbuhan. Dalam kosakata lingkungan proses pengkayaan nutrien dikenal dengan istilah eutrofikasi. Danau yang sebelumnya miskin akan zat hara / nutrien lama kelamaan akan menjadi lebih kaya kandungan nutriennya. Proses ini sebenarnya merupakan proses alamiah yang wajar, namun menjadi tidak wajar ketika campur tangan manusia lewat berbagai aktifitasnya semakin mempercepat penambahan bahan nutrien kedalam danau. Akibatnya adalah kandungan nutrien berlebih merangsang pertumbuhan berbagai jenis alga dan tumbuhan air termasuk Eceng Gondok.
Apa yang dilakukan oleh manusia sehingga menjadi penyebab dari keterpurukan Danau Tondano ?
Tindakan manusia Minahasa yang menyebabkan semakin cepatnya proses eutrofikasi dimulai dengan penggundulan hutan di sekitar DAS Tondano. Gundulnya hutan atau terkonversinya hutan menjadi daerah pertanian dan pemukiman, menyebabkan peningkatan erosi yang membawa sedimen-sedimen mengandung nutrien tanaman (nitrogen dan fosfat) masuk ke dalam danau melalui aliran-aliran sungai.
Aktifitas pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi bagi pengkayaan nutrien di Danau Tondano, karena sisa-sisa pupuk (nutrien) juga dialirkan ke danau, terutama di lahan kebun atau sawah di sekitar danau.
Penggunaan detergen dan pembuangan sampah organik ke danau juga menyebabkan peningkatan kandungan nutrien danau ditambah lagi dengan sisa-sisa pembusukan tanaman air yang mati (apalagi disaat jumlah Eceng Gondok semakin banyak).
 Aktivitas masyarakat lainnya adalah peternakan di sekitar danau dan budidaya ikan mujair dan ikan mas dalam jaring tancap yang memberikan kontribusi nutrien melalui kotoran hewan dan sisa limbah pakan ikan.
Jadi, jelas bagi kita bahwa semua ini adalah karena kita gagal melakukan langkah-langkah ”pencegahan” dan akhirnya kita harus ”mengobati”. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati ?

Alternatif Solusi  

            Karena masalah yang dihadapi Danau Tondano tergolong masalah kompleks dan komplikatif, maka pengobatannya pun perlu menggunakan ramuan khusus. Kita ditantang untuk mengendalikan populasi Eceng Gondok dalam jangka pendek sebelum dia semakin ganas dan menggila.  tetapi juga untuk jangka panjang kita ditantang untuk mengurangi penambahan unsur hara ke danau supaya tidak terjadi pencemaran nutrien  di danau.
            Tindakan (bukan bicara) yang dibutuhkan saat ini perlu dilakukan sistematis dan simultan meliputi:
-          Pengangkatan Eceng Gondok secara besar-besaran dengan memanfaatkannya (Daun untuk pakan ternak, batang untuk kerajinan, akar dan sisa tanaman yang membusuk untuk kompos dan biogas).
-          Hijaukan kembali daerah tangkapan air (catchman area) DAS Tondano
-          Pengolahan air limbah pertanian sebelum masuk ke danau (dapat menggunakan eceng gondok).
-          Pembatasan budidaya ikan dalam jaring tancap.
-          Stop membuang sampah ke danau
-          Kurangi penggunaan detergen

Secara operasional, semua ini membutuhkan dana sehingga ditunggu komitmen Pemerintah Kabupaten Minahasa dan pemerintah provinsi Sulut. Namun demikian dibutuhkan juga peran setiap stakeholder termasuk masyarakat. jadi menjadi tanggung jawab kita juga untuk memberi kontribusi dalam “mengobati” Danau Tondano (MYT, 2007)

Fenomena Titanic dan Global Warming

Oleh: Meidy Y. Tinangon, SSi, MSi.
*Tulisan ini dimuat di Harian Komentar (Manado, Sulut) Juni 2007 dalam judul:

Rencana Lokal melawan Global Warming;




”Jika suatu ketika lapisan es di bumi mencair maka ketinggian permukaan air laut dapat dipastikan naik hingga 64 meter” demikian diungkap Antara news 23 Maret 2007. Nikolai Osokin, pakar glaciologi pada Institut Geografi, Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, memperkirakan, kota-kota ditepi pantai kemudian tenggelam di bawah permukaan air, termasuk Belanda, yang sebagian besar wilayahnya notabene berada di bawah permukaan air laut. Bagaimanapun juga, baik Belanda maupun seisi planet bumi yakin bahwa kehancuran yang luar biasa dapat terjadi setiap saat dalam beberapa ribu tahun mendatang.



Tema Hari Lingkungan Hidup sedunia (world environment day) tahun 2007 yang dipilih oleh Badan Lingkungan Hidup Dunia atau United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2007 adalah ”Melting Ice – A Hot Topic!” yang di Indonesia ditetapkan menjadi ”Iklim Berubah, Waspadalah Terhadap Bencana Lingkungan!” Tema tersebut, memberi titik tekan pada topik hangat (hot topic) lingkungan hidup global dalam beberapa tahun terakhir ini yaitu: pencairan lapisan es (melting ice) di kutub akibat  pemanasan global (global warming).

Pemanasan global adalah bencana global bagi peradaban global yang sepertinya belum kita sadari. Apalagi bagi kita yang masih terperangkap dalam suatu pola pikir (mind set) dan pola tindak yang saya istilahkan sebagai: ”fenomena penumpang Titanic”.

Kita bertahan dalam paradigma berpikir bahwa bumi ini ibarat ”kapal besar , kokoh dan tak mungkin tenggelam”. Sama dengan paradigma berpikir para penumpang kapal besar Titanic yang sangat kagum dan percaya diri memandang Titanic sebagai kapal yang megah, kokoh dan tak mungkin tenggelam. Namun, tanpa kita sadari ternyata bumi perlahan-lahan bocor, hancur dan tenggelam sementara para ”penumpang bumi” lambat menyadarinya, sama halnya dengan para penumpang Kapal Titanic.

Disamping paradigma berpikir ”fenomena penumpang Titanic” di atas, kita memang demikian gampang  untuk tidak menyadari bahwa bahaya lingkungan hidup global sudah berada di depan mata kita,  karena sifat dari bahaya global bernama pemanasan global tersebut memang tidak langsung membunuh tapi dampaknya terjadi secara perlahan-lahan dan sebenarnya kita sedang merasakannya saat ini.

Tanda-tanda terjadinya pemanasan global sebenarnya telah dan sedang kita rasakan, ketika orang Manado berujar: ”so lebe’ panas komang s’karang  kang ?”  Termometer alami dalam tubuh kita memang merasakan  daya sengat panas matahari saat ini lebih meningkat dibanding waktu-waktu yang lalu.

Tanda – tanda lainnya adalah ketika petani mengeluh karena musim yang tak menentu yang akhirnya mengacaukan pola tanam jenis yang bergantung pada keteraturan musim panas  dan hujan. Suatu kondisi yang berbeda dengan kondisi tempo dulu, dimana petani tahu persis kapan musim panas – kapan musim hujan.

Di beberapa tempat di Jawa dan Sumatera, dua minggu yang lalu terjadi gelombang pasang air laut yang menyebabkan ratusan warga mengungsi. Gelombang pasang  ini dapat  juga terjadi karena pengaruh pemanasan global dan melting ice. Di laut dampak bencana global ini juga mulai terkuak. Hasil penelitian Global Coral Reef Monitoring Network menunjukkan, lebih dari dua pertiga terumbu karang di seluruh dunia telah rusak, bahkan terancam punah. Ancaman ini tak lain karena adanya pemanasan global yang tengah terjadi.

Pemanasan global merupakan ancaman besar yang terjadi sebagai akibat dari serangkaian peristiwa, yang nantinya akan kita temui bahwa asal muasal terjadinya berawal dari tindakan manusia yang tidak mampu memprediksi dampak kedepan, sehingga tidak antisipatif dan lebih mengutamakan kepuasan ekonomi semata tanpa memperhitungkan aspek keberlanjutan (sustainable) dari suatu planet bumi yang cuma ada satu.

Kisah ”amarah bumi” ini memang berawal dari aktifitas manusia. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dampak dari Efek Rumah Kaca (ERK) yang sebenarnya adalah proses alami karena memungkinkan kelangsungan hidup semua makhluk di bumi. Tanpa adanya Gas Rumah Kaca, seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), atau dinitro oksida (N2O), suhu permukaan bumi akan 33 derajat Celcius lebih dingin.

Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di atmosfer (Gas Rumah Kaca) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya. Maka, panas matahari yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula. Semua proses itu lah yang disebut Efek Rumah Kaca.

ERK merupakan fenomena yang sama dengan yang bisa kita temui saat membiarkan mobil kita diparkir dalam keadaan panas terik dan kaca mobil tertutup rapat. Kita pasti akan merasakan panas yang hebat dalam ruang mobil kita, karena sisa panas yang masuk ke dalam mobil tak dapat dipantulkan keluar sebab tertahan lapisan kaca.

Sejak awal jaman industrialisasi, awal akhir abad ke-17, konsentrasi Gas Rumah Kaca meningkat drastis. Diperkirakan tahun 1880 temperatur rata-rata bumi meningkat 0.5 – 0.6 derajat Celcius akibat emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia.

Jenis GRK yang memberikan sumbangan paling besar bagi emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida, metana, dan dinitro oksida. Sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) di sektor energi dan transportasi, penggundulan hutan , dan pertanian . Sementara, untuk gas rumah kaca lainnya (HFC, PFC, SF6 ) hanya menyumbang kurang dari 1% .

Tahun 1988, Antony Milne dalam bukunya berjudul ”Dunia di Ambang Kepunahan” (judul asli: Our Drowning World) menulis bahwa manusia menjadikan  bumi rumah yang panas dengan cara penebangan pohon dan perusakan tumbuhan dalam jumlah yang besar. Karena bila bahan bakar fosil (dalam bentuk tanaman yang mati atau tertimbun) dibakar, dan bila pohon-pohon yang hidup ditebas, sejumlah besar karbon dioksida (CO2) dilepaskan ke dalam atmosfer.

Milne tidak sembarang bicara, dia mengungkap fakta hasil riset yang mencengangkan mengenai penggunaan bahan bakar fosil. Sejak Revolusi Industri, sebanyak 400.000 milyar ton gas CO2 dilepaskan ke udara. Dan sejak awal abad -20 kita menggunakan  begitu banyak batu bara, minyak dan minyak tanah untuk mengolah perekonomian kita  sehingga menambah 20 % jumlah gas ini. Sehingga diperkirakan sebanyak  5,5 milyar ton molekul karbon dipompa ke dalam ekosistem setiap tahun. Hal tersebut diperparah oleh perusakan hutan yang pertumbuhannya mencapai hutan klimaks membutuhkan waktu 50 sampai 100 tahun.  Padahal hutan (dan juga samudera) sering disebut sebagai paru-paru bumi yang mengendalikan keseimbangan oksigen dan karbondioksida. Jika Karbondioksida dalam jumlah yang berlebihan maka gas ini akan memerangkap atau manahan panas yang harusnya dipantulkan kembali ke atmosfer bagian atas. Disinilah muncul Efek Rumah Kaca (ERK).

Jadi, ERK menyebabkan panas bumi, disebabkan oleh emisi  GRK yang tinggi ke udara akibat penggunaan bahan bakar fosil dan berbagai bentuk kegiatan manusia yang melepas GRK, diperparah dengan degradasi hutan atau tumbuhan yang sebenarnya dapat menyerap CO2 lewat proses fotosintesis.

Apa yang perlu kita lakukan ?

Kondisi bumi yang panas akhirnya kita sadari merupakan ulah kita sendiri misalnya dengan menghasilkan emisi karbon dan menghilangkan hutan di lingkungan sekitar kita. Ancaman global berwujud pemanasan global, mau tidak mau harus kita tangani kalau ingin anak cucu kita menikmati kehidupan yang lebih sejuk dan nyaman.

Tak usah berbuat yang diluar batas kemapuan kita. Berbuatlah dahulu dalam skala lokal untuk menghadapi bahaya global. Kita memang hanya menempati setitik tempat dalam peta dunia, namun bukan berarti lokalitas kita yang kecil tidak bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi penanggulangan pemanasan global. Kita harus segera bertindak sebelum panas global yang meningkat akhirnya semakin mengacaukan iklim, mencairkan  es di kutub dan ancaman banjir global, gelombang pasang dan bahaya ikutan lainnya  menyerang kita.

Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ir. Rahmat Witoelar dalam sambutannya memperingati hari lingkungan 5 Juni 2007 mengungkap bahwa Indonesia akan memberi kontribusi global sebagai tuan rumah Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang akan berlangsung di Bali, 3 - 14 Desember 2007. Pertemuan yang akan dihadiri oleh 10.000 peserta dari 189 negara akan menyepakati berbagai upaya pencegahan pemanasan global yang sangat terkait dengan pelestarian hutan, adaptasi kenaikan permukaan air laut, perubahan iklim serta penggalangan dana internasional untuk kegiatan berkelanjutan. Dengan momentum ini, Indonesia akan berperan aktif dalam diplomasi internasional membela kepentingan lingkungan secara nasional dan global.

Sementara itu mengenai cara menghadapi ancaman global ini, pak Menteri menyebut dua kategori yaitu dengan upaya ”adaptasi” dan ”mitigasi”. Kegiatan beradaptasi antara lain menanam pohon. Kegiatan mitigasi atau pengurangan efek gas rumah kaca dapat dilakukan dengan hemat energi, tidak konsumtif, mengurangi dan mengelola sampah, serta efisiensi penggunaan transportasi.

Upaya-upaya sederhana perlu kita mulai sekarang dari rencana tindakan – tindakan lokal. Jika banyak region lokal bertindak dengan menanam pohon (penghijauan) maka tindakan lokal dalam kuantitas besar akhirnya menjadi kekuatan global menghadapi ancaman global. Pohon meningkat berarti membantu mengurangi gas CO2 di udara.

Menghemat energi dan tidak konsumtif perlu menjadi budaya hidup kita. Kita hidup di negara miskin namun penduduknya sangat konsumtif, sementara negara kaya sudah sejak lama memikirkan kembali perilaku mereka yang konsumtif dan mulai mebudayakan hidup hemat yang pro pelestarian lingkungan. Sampah harus diolah jangan menambah emisi karbon jika kita hanya berpikir timbun dan bakar. Daur ulang sampah dapat memberikan nilai tambah misalnya dengan mengolah sampah organik menjadi biogas dan pupuk organik sedangkan sampah anorganik dapat diolah menjadi bahan bermanfaat.

Semua itu harus dimulai dari munculnya kesadaran dan perubahan paradigma berpikir karena segalanya telah berubah tetapi - meminjam istilah Einstein – ”... yang belum berubah adalah cara berpikir kita”.

Kita harus mengubah paradigma berpikir dari paradigma ”Titanic tanpa kewaspadaan” menuju ”Titanic dengan kewaspadaan”. Bumi kita memang ibarat kapal yang besar – seperti Kapal Titanic – tapi, ingat bumi kita seperti juga Titanic bisa hilang keseimbangan, hancur dan menurut Anthony Milne sudah diambang kepunahan. Karena itu, tetap waspada dengan bertindak pro lingkungan. Sekali lagi, save the earth dan  waspadalah  !!!
(***)

Penulis, Sekretaris Lembaga Riset dan Pengembangan Sains FMIPA UKIT; Dosen Progdi Biologi Konsentrasi Biologi Lingkungan FMIPA UKIT;  Pudek Bid. Kemahasiswaan FMIPA UKIT; Penasehat Mapala ”Biofarma” FMIPA UKIT.
 


Rabu, 21 September 2011

UKIT Gelar Pelatihan Penyusunan Proposal PKM Dikti

Mahasiswa FMIPA UKIT di Pimnas

UKI Tomohon melalui biro kemahasiswaan dan Humas, memprakarsai pelaksanaan Pelatihan Penyusunan Proposal PKM yang akan dilaksanakan pada hari Jumat, 23 September 2011 di Aula UKI Tomohon. 

Program PKM setiap tahun diagendakan Direktorat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (DP2M) Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional. Saat ini DP2M kembali membuka kesempatan kepada mahasiswa di perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mengajukan proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang akan dibiayai tahun 2012. PKM nantinya akan bermuara pada pelaksanaan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas).  

Berdasarkan pengalaman, tingkat partisipasi perguruan tinggi di Sulut masih rendah berhubung banyak proposal yang ditolak karena tidak memenuhi ketentuan. Karena itu sebagai upaya mengoptimalkan keikutsertaan mahasiswa di Sulut maka prakarsa menggelatr pelatihan dilaksanakan UKIT dengan pelaksana operasional DEM FMIPA UKIT, yang dikoordinir langsung Presiden DEM FMIPA Hengky Warongan. Peserta pelatihan adalah mahasiswa dari semua PT di sulut yang terundang. 

Untuk tahun 2011, PKM meliputi 7 bidang kegiatan yaitu:  
- PKM Penelitian (PKMP),     
- PKM Teknologi (PKMT)
- PKM Kewirausahaan (PKMK)
- PKM Pengabdian pada Masyarakat (PKMM)
- PKM Karya Cerdas (PKM-KC)
- PKM Artikel Ilmiah (PKM-AI)
- PKM Gagasan Tertulis (PKM-GT)
Masing-masing program ini, pesertanya adalah kelompok mahasiswa dengan didampingi 1 orang dosen pendamping / pembimbing.

Selasa, 06 September 2011

Siwu Lantik Para Pembantu Rektor UKIT

Dekan dan PD III FMIPA UKIT promosi jabatan ke Rektorat.

Foto bersama rektor, pimpinan yayasan dan para PR yang dilantik (foto:Warstef, Tribun manado)
Rektor UKIT, Pdt DR. Richard Adolf Daniel Siwu, MA.PhD selasa (6/11) melantik para pembantu rektor UKIT. Pelantikan yang digelar di Aula UKIT tersebut dihadiri langsung oleh Mantan Ketua Sinode GMIM Pdt. Prof DR. Welly A Roeroe, Wakil Ketua Yayasan YPTK GMIM Prof DR. Ir. Dicky Walalangi dan Wakapolres Tomohon Kompol A Mongi serta Kapolsek Tomohon Utara AKP Roy Tangkuman. Juga dihadiri jajaran dekanat se UKIT dan DEM UKIT serat unsur pegawai dan mahasiswa.

Pelantikan didahului dengan ibadah syukur yang dipimpin Pendeta Vera Lintong Burhan, MTh. Ke tiga pembantu rektor yang dilantik yakni PR I (bidang akademik). Denny Zaverius Jonly Nelwan, M.Si.,  PR II (bidang administrasi umum dan keuangan) Dra. Youla Kalangi, M.Si. dan PR III (Bidang Kemahasiswaan) Meidy Yafeth Tinangon, M.Si. Ketiganya dilantik untuk periode jabatan 2011 hingga 2015.

Nelwan yang sebelumnya menjabat Dekan FMIPA UKIT selama 2 periode, menduduki jabatan PR I menggantikan Pdt. Johanna Pinontoan Setlight, M.Th. Sementara itu Dra. Joula Kalangi, MTh tetap pada posisinya untuk periode kedua. Sedangkan Tinangon, sebelumnya adalah Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FMIPA UKIT yang juga telah melalui 2 periode sebagai  PD III terhitung hingga bulan Februari 2012 nanti.

Siwu meminta para pejabat yang dilantik untuk mengedepankan pelayanan sebab tugas di UKIT merupakan bentuk pelayanan. (***)