Ayo lawan COVID-19: StayAtHome-Jaga Jarak-Hindari Kerumunan-Pakai Masker-Jaga Kondisi Tubuh

Selasa, 05 Februari 2013

Menelusuri Problema Danau Tondano



“Pendangkalan, Eutrofikasi dan Eceng Gondok”

Oleh: Meidy Tinangon



  • ·         Trend penurunan kedalaman / pendangkalan danau Tondano

Dari berbagai sumber Daerah Aliran Sungai (DAS) Danau Tondano memiliki manfaat besar pada upaya pemenuhan kebutuhan manusia, seperti sumber air bersih melalui PDAM ke Kota Manado sebanyak 25.296 pelanggan. Kemudian sumber distribusi listrik PLTA Tonsea Lama sekitar 14,4 Megawatt (MW), PLTA Tanggari Satu 18 MW, PLTA Tanggari II 19 MW, PLTA Sawangan 16 MW. Di sektor perikanan ada produksi ikan sekitar 534 ton. Bahkan bisa menyuplai air ke 3.000 hektar sawah padi diseputaran danau tersebut serta bisa dimanfaatkan pada sektor wisata.
Namun demikian fungsi yang dwemikian besar tersebut, saat ini menjadi terancam akibat berbagai masalah yang dialami danau Tondano. Salah satu persoalan yng mengemuka saat ini adalah pendangkalan danau Tondano. Dari berbagai sumber,  penurunan kedalaman danau Tondano dapat dilihat di bawah ini.

Tahun
Kedalaman Maksimal
Analisis penurunan
1934
40 m
·         Tahun 1934-1974:
Selama 40 tahun  , penurunan sebesar 12 m. Berarti rata-rata penurunan per tahun adalah = 12 m / 40 thn = 0,3 m (30 cm);  atau penurunan setiap 10 tahun = 12/4 = 3 m.
·         Tahun 1974-1983
Selama 9 tahun, penurunan sebesar 1 m. Rata-rata penurunan per tahun= 0,11 m (11 cm)
·         Tahun 1983-1987
Dalam kurun waktu 4 tahun  terjadi penurunan 7 m atau  penurunan per thn = 1,75 m (175 cm)
·         Tahun 1987-1992
Dalam kurun waktu 5 tahun, terjadi penurunan 4 m. Penurunan per tahun = 0,8 m (80cm)
·         Tahun 1992-1996
Dalam 4  tahun, penurunan hanya 1 m. Per tahun = 0,25 m/thn (25 cm)
1974
28m
1983
27 m
1987
20 m
1992
16 m
1996
15 m


Perubahan Kedalaman Danau Tondano
Nampak bahwa ada perbedaan rentang penurunan kedalaman pada setiap masa. Diduga hal ini disebabkan oleh faktor pemanfaatan ruang dan manajemen ekosistem. Misalnya dipengaruhi oleh berkurangnya luas hutan, masa budidaya cengkih dan masa keemasannya di tahun 1970-an sampai 1980-an. Juga ketika tanaman ini mulai dibiarkan tak terawat disaat harganya anjlok. Pada era 1995 ke atas pengaruh penting lainnya adalah pemeliharaan ikan dengan sistem keramba kemudian jaring tancap yang memproduksi sedimen dari cangkang moluska (jenis renga, kelombi dll).

Jika  dihitung dari data awal yang ada yaitu tahun 1934(40m)  hingga data terakhir tahun 1996 (15m), maka penurunan selama 52 tahun sebesar 25 m, atau rata-rata penurunan per tahun adalah 25 m/ 52 thn = 0,48 m atau 48 cm.

Yang perlu diperhatikan adalah pada tahun 1996, kehadiran gulma air Eceng Gondok (Eichornia crassipes) belum seperti sekarang ini. Artinya capaian kedalaman 15 m waktu itu belum terlalu dipengaruhi oleh pertumbuhan eceng gondok. Nah, jika kedalaman saat ini setelah 15 tahun dari 1996 telah banyak dipengaruhi oleh eceng gondok, bisa saja penurunan kedalaman per tahun bukan hanya  48 cm tetapi lebih dari itu.

Jika pun faktor eceng gondok kita abaikan, dengan mengambil perhitungan penurunan kedalaman  48 cm / tahun maka penurunan kedalaman danau tahun 2011 (15 tahun setelah 1996) dapat diprediksi menjadi 15 thn  x 48 cm = 720 cm atau 7,20 m. Ini berarti kedalaman danau diprediksi telah berkurang 7,2 m dan tertinggal berkisar pada angka 7,8 m ! berapa lama lagi waktu yang diperlukan untuk menghapus danau Tondano yang dalamnya tinggal 7,8 m itu dari peta ? (meskipun perlu data empirik terakhir, ini hanya perhitungan kasar saja).

Jika penurunannya tetap 0,48 m per tahun, maka waktu yang dibutuhkan tinggal 16 ¼  tahun dari sekarang. Berarti prediksi matematis ini, memprediksi bahwa pada tahun  2027  kedalaman danau tinggal 0 m dan danau tondano bukan lagi danau, tetapi berubah wujud menjadi rawa bahkan daratan. Ini mungkin saja terjadi jika kita hanya tinggal diam. Simpelnya, cobalah biarkan eceng gondok tumbuh subur tak diangkat, pasti dalam 1 – 2 tahun seluruh danau telah ditumbuhi eceng gondok yang lama-lama akan semakin menjadi penyebab pendangkalan dan penjebak lumpur....

Dampak Pendangkalan
Dampak pendangkalan danau, telah dan sedang dirasakan oleh masyarakat saat ini.  Banjir yang dialami oleh masyarakat di beberapa desa pinggiran danau maupun sungai Tondano adalah salah satu contoh aktual dari terjadinya pendangkalan danau. Meskipun pendangkalan danau bukanlah satu-satunya faktor penyebab banjir, namun berkurangnya kapasitas tampung wadah danau atau sungai akibat pendangkalan yang pasti menyebabkan peluapan air ketika jumlah input / masukan air lebih besar dibanding kapasitas tampung dan kemampuan pembuangan, yang diperparah oleh penahanan air di pintu air PLN tonsealama.

Dalam jangka panjang pendangkalan sebagai bagian dari proses suksesi danau akan merubah fisiografi dan karakteristik habitat dari ekosistem danau menjadi rawa berlumpur dan kemudian daratan.

Penyebab Pendangkalan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan  terjadinya pendangkalan yang pada prinsipnya merupakan peristiwa sedimentasi atau pengendapan partikel padat seperti lumpur di dasar danau dansungai.  Faktor penyebab tersebut adalah:
1.      Erosi tanah permukaan . Tanah di pegunungan / daratan sekitar danau terkikis disaat hujan. Tingkat erosi semakin besar karena daerah penyangga seperti hutan semakin kritis. Data tahun 2001, keadaan hutan di DAS Tondano tinggal 8,75 % .
2.      Sedimentasi organik seperti oleh tumbuhan air Arakan (Hydrilla verticilata)  dan Eceng Gondok (Eichornia crassipes). Tumbuhan air ini jika mati akan menumpuk dan mengendap di dasar danau. Apalagi proses pengendalian secara fisik dilakukan kurang sempurna dimana eceng gondok yang di angkat hanya dibiarkan di tepi danau. Akibatnya terjadi percepatan pembentukan rawa dan daratan di beberapa tempat di tepi danau. Hal ini bukan saja menyebabkan pendangkalan tetapi sekalian menyebabkan penyempitan danau.
3.      Pembuangan sampah. DanauTondano masih menjadi tempat yang empuk untuk tempat pembuangan sampah baik secara langsung ke badan air danau atau melalui sungai yang bermuara di danau Tondano.
Faktor mana yang lebih besar mempengaruhi proses sedimentasi, butuh kajian lebih lanjut. Namun demikian, eceng gondok punya potensi yang tak bisa terhalang oleh waktu dan kondisi musim. Baik musim hujan maupun panas, tumbuhan ini tetap tumbuh subur di danau yang semakin subur lewat proses penyuburan danau (eutrofikasi). Jadi baik di musim panas maupun  hujan tumbuhan ini berpotensi mempercepat laju pendangkalan danau. Sementara erosi tanah, lebih kentara di musim hujan.


  • Eceng Gondok, Eutrofikasi, Pendangkalan dan Penyempitan Danau

Sejak kapan tumbuhan air (aquatic plants) eceng gondok menempati habitat barunya yaitu danau Tondano ? Dari penelusuran data yang ada, Eceng Gondok (Eichornia crassipes) belum ditemukan oleh peneliti sampai tahun 1995. Data perubahan komposisi tumbuhan air dari beberapa peneliti menunjukan  adanya perubahan komposisi jenis tumbuhan air di danau Tondano.
1.      Data dari Rondo (1977), dan Soerjani dkk, (1979) menyatakan komposisi tumbuhan air sebagai berikut: Pistia stratiotes, Spirodela polyrhiza, Azolla piƱata, Lemna minor, Ceratophylum demersum, Hydrilla verticillata, Najas indica, dan Potamogeton malaianus. 
2.      Sementara hasil penelitian Tamanampo dkk (1995) melaporkan komposisi spesies yang hanya terdiri dari 6 spesies yaitu: P. malaianus, H. verticillata, C. demersum, dan N. indica, P. stratiotes, Ludwigia adscendens.
3.      Penelitian Tinangon, (1999) selain ke enam jenis di atas, ditemukan juga polygonum sp., Ipomea aquatica, Eichornia crassipes, dan Paspalum sp.
Data terakhir di atas, menjadi catatan karena selain masuknya eceng gondok dalam daftar spesies tumbuhan air di danau Tondano, eceng gondok langsung menempati urutan pertama dalam hal kerapatan / biomassa sehingga menjadi tumbuhan air yang dominan sejak saat itu atau di kisaran tahun 1996 ke atas.

Eceng gondok termasuk tanaman yang “rakus” sehingga sangat senang tumbuh di daerah yang banyak makanannya (nutrien) berupa unsur-unsur hara terutama Nitrogen (N) dalam bentuk nitrat (NO3), amoniak (NH3) dan Fosfor (P) dalam bentuk fosfat/orthofosfat (PO4). Semakin banyak senyawa-senyawa tersebut, maka semakin subur suatu danau. Ini berarti tingkat eutrofikasi semakin tinggi.
Sumber pencemaran utama dari unsur hara adalah bagian permukaan dan bagian bawah permukaan (subsurface) aliran air dari daerah pertanian dan perkotaan, aliran limbah ternak, seperti halnya buangan limbah cair industri dan rumah tangga termasuk aliran kotoran.  Limbah-limbah ini terdiri dari bermacam-macam zat yang mengandung nitrogen dan fosfor. Sebagai contoh, nitrogen terdapat dalam bentuk nitrogen organik, amoniak, nitrit, nitrat yang diturunkan dari protein, asam nukleat, urea dan zat-zat lainnya. Senyawa fosfor dihasilkan dari degradasi senyawa seperti asam nukleat dan fosfolipid serta dalam bentuk fosfat anorganik. Fosfor juga dapat berasal dari pembentuk fosfat di dalam detergen. Ini dapat siap dihidrolisis untuk menghasilkan ortofosfat yang siap diasimilasi oleh tumbuh-tumbuhan. Sumber utama nitrogen dan fosfor dalam daerah perairan dihasilkan dari produksi makanan atau limbah dalam bentuk aliran air kotor.  Di danau Tondano, sumber-sumber nutrien tersebut adalah: erosi permukaan tanah, sisa-sisa pupuk dan deterjen, sisa pakan ikan, limbah ikan serta penguraian tumbuhan dan hewan air yang mati.
 Data terakhir yang sempat dihimpun mengenai konsentrasi nitrat dan fosfat adalah hasil survey M. Tinangon akhir tahun 2009 yang mendapati hasil sebagai berikut, dimana nilai tersebut menunjukan bahwa danau Tondano telah masuk dalam kelompok DANAU EUTROFIK atau Danau yang tingkat kesuburannya sangat tinggi dengan demikian telah terjadi pencemaran nutrien di Danau Tondano:
Range / kisaran konsentrasi nitrat dan fosfat untuk masing-masing stasiun penelitian (Tinangon, 2009)
Stasiun
Range / Kisaran Konsentrasi
Nitrat (mg/L)
Fosfat (mg/L)
I (Eris)
0,75 – 1,08
0,015 – 0,290
II (Kakas)
1,36 - 3,96
0,050 – 0,570
III (Remboken)
2,08 – 2,97
0,225 - 0,360
IV (Toulour)
2,51 – 5,25
0,410 – 1,017

Danau yang demikian subur ini telah mendukung kehidupan flora akuatik berbentuk fitoplankton (tumbuhan air hijau bersifat mikro dan melayang di perairan danau). Survey Tinangon (2009) , kelimpahan fitoplankton mencapai 3646 sel/Liter. Jadi dalam 1 liter air danau terdapat 3646 sel fitoplankton ! Fitoplankton adalah juga pengguna nitrat dan fosfat, selain itu jika mati akan meberikan kontribusi kembali pada penyuburan danau disaat tumbuhan ini terdekomposisi. Seperti halnya juga eceng gondok.
            Potensi sumber pencemar nutrien di danau Tondano, menurut Tinangon (2009) “Analisis Nitrat dan Fosfat serta Struktur Komunitas Fitoplankton sebagai indikator eutrofikasi pada ekosistem danau Tondano”, adalah:
Karakteristik bagian danau
Sumber-sumber Nutrien (N dan P)
Daerah budidaya ikan
·  Sisa pakan ikan ; Limbah ikan budidaya
·  Limbah rumah tangga
·  Erosi permukaan daratan; Penguraian tumbuhan dan fitoplankton yang mati
Daerah pertanian
·  Sisa pupuk
·  Aliran sedimen dari sungai
·  Kotoran ternak itik
·  Penguraian sisa tanaman dan fitoplankton
Daerah pariwisata dan pemukiman
·  Limbah dari objek wisata
·  Limbah rumah tangga termasuk detergen
·  Limbah ternak dan pertanian dari daratan yang masuk melalui sungai
·  Penguraian sisa tanaman dan fitoplankton
·  Sisa pakan ternak
Daerah Outlet (aliran keluar air)
·  Dekomposisi tumbuhan air yang melimpah
·  Daerah pertanian sekitar (pupuk)
·  Aliran bahan organik dari perairan sekitar
·  Penguraian fitoplankton

Kehadiran eceng gondok  berperan juga dalam pendangkalan danau, karena jika tumbuhan ini mati  maka dia akan menumpuk cukup lama di dasar danau sebelum akhirnya hancur dan terurai. Disamping itu, tumbuhan ini juga menjadi semacam “perangkap lumpur”. Kehebatan eceng gondok, apalagi dengan sistem pengendalian yang kurang baik karena hanya dibiarkan di tepi danau, akan sangat berpotensi membentuk rawa dan daratan baru di tepi danau sehingga menyebabkan penyempitan danau. Penguapan oleh eceng gondok disaat musim panas juga menjadi masalah karena diduga cukup signifikan mengurangi volume air di musim panas.



  • CONTROL BY USE: Alternatif Solusi Untuk Eceng Gondok

Salah satu solusi alternatif bagi pengendalian eceng gondok adalah pengendalian dengan pemanfaatan (Control by Use / CBU). Maksudnya, eceng gondok dikendalikan populasinya dengan cara diangkat dari permukaan air secara masif dan rutin, kemudian di bawa ke tempat penampungan untuk diolah menjadi bahan kerajinan, biogas, pupuk bahkan pakan ternak. Jadi, disamping dikendalikan populasinya, masyarakat dan pemerintah mendapatkan nilai tambah, sehingga masalah bisa dirubah menjadi peluang secara cerdas.

Penanganan selama ini, hanya menghilangkan eceng gondok secara sementara saja dan memberikan dampak yang kurang baik. Eceng gondok yang dibiarkan di tepi danau, bisa kembali bertumbuh secara vegetatif dengan stolonnya. Disamping itu menyebabkan pendangkalan dan pembentukan daratan di tepi danau. Pengangkatan juga sebagiknya dilakukan disaat sebelum tumbuhan ini berbunga untuk mencegah penyebaran benih / spora eceng gondok yang bisa mencapai ribuan bakal tanaman pada setiap indibidu yang telah berbunga.

(penulis, Pengajar Ekologi FMIPA UKIT, Ketua Gerakan Minahasa Muda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar