Ayo lawan COVID-19: StayAtHome-Jaga Jarak-Hindari Kerumunan-Pakai Masker-Jaga Kondisi Tubuh
Tampilkan postingan dengan label EUTROFIKASI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label EUTROFIKASI. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Februari 2013

Peran Pemkab dan DPRD dalam Pelestarian Danau Tondano

Oleh : Yanny Y.A.G. Marentek, S.Th.
(Angg FPG DPRD Kab Minahasa 2009-2014; Ketua Badan Legislasi DPRD Kab Minahasa)

§  Introduksi
Danau Tondano disadari merupakan bagian vital kehidupan dan penghidupan masyarakat, bukan saja di Kabupaten Minahasa tetapi di Sulawesi Utara pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh mulitifungsi Danau Tondano yang memegang peran vital dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut meliputi: sebagai sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, pengairan bagi pertanian, objek wisata, tempat cuci-mandi, tempat berolahraga, sumber gizi masyarakat, sumber energi listrik melalui PLTA juga sebagai sumber air minum bagi sebagian masyarakat di Kota Manado melalui pengolah PDAM / PT Air Manado. Bagi kalangan ilmuwan, Danau Tondano merupakan objek penelitian.
Dengan fungsi-fungsi yang vital tersebut, maka adalah wajar jika banyak pihak memberikan reaksi ketika menyaksikan Danau Tondano mengalami berbagai masalah lingkungan. Dimaklumi bahwa sebagai warga masyarakat, pasti tidak menghendaki Danau Sumber kehidupan dan berkat akan kehilangan fungsinya.
Masalah – masalah yang dihadapi Danau Tondano, sebenarnya membutuhkan perhatian dari banyak pihak yang memangku kepentingan, namun pada kesempatan ini akan coba dibahas sejauh mana peran pemerintah selaku pihak eksekutif dan DPRD Kabupaten Minahasa selaku pihak legislatif. 

Selasa, 05 Februari 2013

EUTROFIKASI: Problema Ekologis pada Ekosistem Danau

juga terpublikasi 16 Agustus 2011 di

by. Meidy Y. Tinangon, M.Si.
I.               PENDAHULUAN

Danau adalah salah satu ekosistem enting karena fungsinya bagi masyarakat.Diantaranya danau sering dimanfaatkan sebagai: sumber air minum , penangkapan budidaya ikan, tempat cuci mandi, objek wisata dan lain sebagainya. Namun, seperti halnya ekosistem lainnya di muka bumi ini, danau tetap saja tidak bebas dari gangguan serta permasalahan ekologis
Diantara masalah yang menarik serta perlu mendapat perhatian serius adalah masalah  eutrofikasi  (pengkayaan unsur hara). Proses ini sebenarnya sifatnya agak alami dimana terdapat masukan unsur hara dalam danau karena peristiwa-peristiwa dalam danau tersebut. Dalam situasi alami tersebut, maka proses eutrofikasi dapat dikatakan berlangsung lambat dan dalam keadaan seimbang. Namun menjadi masalah ketika campur tangan manusia lewat berbagai aktifitas pemanfaatan danau mulai mempengaruhi ekosistem danau. Proses ini kemudian dikenal sebagai eutrofikasi kultural.

Unsur hara sangat berperan dalam meningkatnya  eutrofikasi. Connell dan Miller (1995) mengatakan bahwa tubuh air dengan sedikit aliran air, seperti danau, bendungan, laut tertutup, dan sebagainya, menjadi eutrofik melalui pengkayaan unsur hara dalam jangka waktu yang lama. Aktifitas pemanfaatan danau dan ekosistem sekitar untuk berbagai keperluan, memberi peluang bagi semakin tingginya tingkat eutrofikasi pada ekosistem danau.
Bahaya dari proses eutrofikasi boleh dikatakan sangat besar dan mengancam keberlanjutan (sustainable) dari ekosistem tersebut termasuk manusia sebagai pengguna ekosistem danau. Eutrofikasi bukan hanya samapai pada proses semakin kayanya ekosistem danau oleh unsur hara, tetapi menyangkut masalah yang lebih luas yaitu dampak yang ditimbulkan oleh unsur hara yang semakin kaya. Dengan kondisi unsur hara yang melimpah maka fenomena ekologis seperti blooming ganggang dan kemudian gulma air (aquatic weeds), pendangkalan danau dan masalah deoksigenasi serta penurunan kesehatan danau akan dengan mudah ditemui.
Namun demikian, karena dampaknya yang tidak secara langsung dirasakan dan terjadi lewat suatu pproses yang memakan waktu sehinggga eutrofikasi sering disepelekan dalam program pengendalian dampak lingkungan. Berbeda dengan masalah pencemaran yang lain yang dapat langsung dirasakan dampaknya misalnya menyebabkan kematian.
Disadari bahwa kurangnya perhatian terhadap masalah eutrofikasi, disebabkan karena informasi tentang eutrofikasi itu sendiri yang kurang di ekspose pada masyarakat dan pemerintah. Untuk itu maka perlu ada kajian ilmiah yang nantinya akan mendeskripsikan apa dan bagaimana proses eutrofikasi tersebut. Nantinya informasi tersebut dapat disampaikan kepada pihak yang berkompeten.

II.            DEFINISI DAN PROSES EUTROFIKASI

Menurut Connell dan Miller (1995), Eutrofikasi diperikan pertama kali oleh Weber pada tahun 1907 ketika ia memperkenalkan istilah oligotrofik, mesotrofik dan eutrofik (Hutchinson, 1969). Istilah ini memerikan proses eutrofikasi sebagai suatu rangkaian proses dari sebuah danau yang bersih menjadi berlumpur oleh pengkayaan unsur hara tanaman dan meningkatnya pertumbuhan tanaman. Sejak saat itu, terdapat banyak pemerian dan kriteria untuk istilah ini serta pengenalan istilah baru tersebut semakin berkembang.
 OECD telah mencirikan eutrofikasi sebagai “pengkayaan unsur hara pada air yang menyebabkan rangsangan suatu perubahan yang simpomatik yang meningkatkan produksi ganggang dan makrofit, memburuknya perikanan, memburuknya kualitas air dan perubahan simpomatik lainnya yang tidak dikehendaki serta mengganggu penggunaan air”  (Wood, 1975 dalam Connell dan Miller, 1995).
Akumulasi alami dari nutrien dalam danau disebut eutrofikasi alami (natural eutrophication). Akumulasi nutrien dan erosi alami dapat dengan waktu yang sufisien, mentransformasi danau kedalam tanah rawa dan kemudian tanah kering, sebuah proses yang disebut suksesi alami (natural succesion). Dalam proses ini nutrien inorganikmerangsang pertumbuhan tanaman; tumbuhan suatu saat mati dan menyumbang sedimen organik kedalam dasar danau (Chiras, 1988).
Dalam proses eutrofikasi alamiah, detritus tanaman, garam-garaman, pasir dan sebagainya dari suatu daerah aliran masuk dalam aliran air dan disimpan dalam badan air selama waktu geologis. Ini menyebabkan pengkayaan unsur hara, sedimentasi, pengisian dan peningkatan biomassa (Connell dan Miller, 1988).  
Danau-danau oligotrofik secara tiba-tiba menjadi lebih kaya atau eutrofik dengan tertimbunnya zat-zat makanan pada saat mereka menjadi lebih tua. Di alam eutrofikasi menghasilkan suatu keseimbangan dan ini dapat dilihat dengan perbedaan susunan komunitas pada tubuh air oligotrofik dan eutreofik. Pada air eutrofik alami, plankton berlimpah, perkembangan ganggang merupakan hal yang umum. Terdapat imbangan yang baik pada bahan-bahan organik baik dalam larutan maupun pada dasarnya. Eutrofikasi menjadi sebuah masalah jika disebabkan oleh campur tangan manusia, karena hal-hal yang seperti inilah jangka waktu menjadi berkurang sehingga keseimbangan secara sehingga keseimbangan secara alami berkurang (Michael, 1994).
Eutrofikasi buatan sebagai hasil kegiatan manusia menambah kekurangan oksigen dalam zone profundal. Jadi ikan yang stenotermal, yang dapat bertahan pada suhu rendah, hanya hidup dalam danau “miskin”, dimana air di bagian dalam yang dingin tidak kekurangan oksigen. Jenis-jenis seperti ini adalah yang pertama kali menghilang di Great Lakes di Amerika serikat. Organisme rendah (berlawanan dengan ikan) dari zone profundal beradaptasi untuk tahan terhadap kekurangan oksigen dalam jangka waktu yang panjang (Odum, 1991).
Diutarakan juga oleh Conell dan Miller (1988), bahwa kegiatan manusia sangat mempengaruhi pengkayaan unsur hara dan eutrofikasi. Pada kenyataanya, dalam waktu 100 tahun terakhir banyak danau yang memperlihatkan pengkayaan unsur hara sangat cepat yang disebabkan oleh pencemran. Buangan,  seperti limbah rumah tangga, aliran dari bak penampungan kotoran, beberapa limbah industri, aliran dari perkotaan, aliran dari pertanian dan pengelolaan hutan, serta limbah hewan mengandung unsur hara tanaman yang seringkali menyebabkan pengkayaan unsur hara dan mempercepat eutrofikasi.
Menurut Michael (1994), pengaruh terbesar eutrofikasi terlihat pada air-air yang tenang, hasil yang nyata adalah suatu perkembangan ganggang. Seringkali lapisan ganggang dan kotoran bebek menutupi seluruh permukaan yang menyebabkan deoksigenasi pada air-air dibawahnya dimana fotosintesis berhenti disebabkan putusnya pencahayaan oleh lapisan ganggang. Pada saat ganggang ini mati dan terurai, terjadi  penurunan oksigen yang terurai lebih lanjut.

III.  DANAU DAN TINGKAT EUTROFIKASI
Danau dapat diklasifikasikan berdasarkan produktifitas primernya. Produktifitas atau kesuburan danau tergantung pada nutrisi yang diterimanya dari perairan regional, pada usia geologis dan pada kedalaman. Berdasarkan produktifitas, danau dibagi atas danau oligotrofik dan eutrofik. Danau oligotrofik biasanya dalam, dengan hipolimnion lebih besar dari epilimnion, dan mempunyai produktifitas primer rendah. Tanaman di daerah littoral jarang  dan kerapatan plankton rendah, walaupun jumlah jenis yang ada mungkin tinggi. Danau eutrofik adalah lebih dangkal  dan  produktifitas primernya lebih tinggi, vegetasi littoral lebih lebat dan populasi plankton lebih rapat (Odum, 1971).
Selanjutnya Thohir (1991) dan Soeriaatmaja (1981) mengungkapkan fase-fase perkembangan kehidupan di danau, yang terdiri dari: oligotrofi, mesotrofi, eutrofi dan distrofi. Danau oligotrofi, keadaan airnya jernih, bahan organik yang dikandung sedikit, kerapatan hewan dan tumbuhan rendah, suhu air relatif rendah, bahan makanan sedikit tetapi kaya oksigen. Danau oligotrofi lama kelamaan akan meningkat aktifitas biologisnya dan menjadi danau mesotrofi, dimana air menjadi lebih keruh, produksi bahan organik bertambah, kesuburan danau lebih tinggi namun belum mencapai kesuburan optimal. Jika kesuburan danau telah mencapai titik optimal, danau tersebut disebut danau eutrofi.
 
III.  UNSUR HARA PENYEBAB EUTROFIKASI
Hara makanan tumbuhan merupakan salah satu kelompok pencemar di perairan . Senyawaan ini biasanya kaya akan nitrogen dan fosfor serta menstimulasi pertumbuhan tanaman secara berlebihan (Connell dan Miller, 1998).  Menurut Michael (1995), pertanyaan tentang apakah fosfat atau nitrogen yang mepunyai pengaruh paling serius terhadap eutrofikasi, tetap diperdebatkan, tidak diragukan lagi bahwa keduanya memberikan sumbangan yang khas.
Ketersediaan nitrogen dan fosfor bagi tanaman yang sedang tumbuh bergantung pada serangkaian reaksi biologis perantara yang rumit. Nitrogen terdapat di lingkungan perairan dalam beragam bentuk dan gabungan kimiawi yang luas yang meliputi keadaan oksidasi yang berbeda. Nitrogen organik terikat pada unsur pokok sel dari makhluk hidup, sebagai contoh, purin, peptida dan asam amino, sedangkan nitrogen anorganik, sebagai contoh, amonia, nitrit, nitrat dan gas nitrogen, terlarut dalam massa air. Perubahan bentuk dalam massa air dari nitrogen anorganik menjadi nitrogen organik terjadi oleh pertumbuhan fotosintesis pada tanaman air.  Kebalikan dari proses ini menghasilkan pembentukan amonia dari bahan organik oleh sejumlah mekanisme yang melibatkan otolisis sel, jasad renik dan pembuangan dari makhluk hidup besar.  Amonia dapat hilang dari air oleh penguapan tetapi oksidasi menghasilkan nitrifikasi terutama oleh jasad renik, dan menghasilkan nitrat yang tidak dapat menguap. Nitrat dapat melakukan proses denitrifikasi yang dapat menyebabkan hilangnya gas nitrogen dan masuk ke dalam atmosfer (Brezonik 1972 dalam Connell dan Miller, 1998).  Senyawa nitrogen yang dapat diasimilasikan oleh tumbuhan, menurut Suseno (1974) dapat dibagi dalam 4 golongan besar yaitu: Nitrogen nitrat, Nitrogen Amoniak, Nitrogen Organik dan Nitrogen Molekulair (N2). Namun demikian sumber utama bagi tumbuhan yang terpenting adalah ion Nitrat.
Mengenai fosfor dikatakan oleh Connell dan Miller (1998), bahwa fosfor terdapat dalam suatu keadaan oksidasi tunggal sebagai fosfor anorganik atau fosfor organik.  Bentuk anorganik terutama adalah ortofosfat (PO43-) dan polifosfat. Bentuk organik selalu digabungkan dengan senyawaan zat selular dan sebagian besar fosfor dalam air alamiah adalah dalam bentuk organik. Bentuk anorganik, khususnya ortofosfat, siap diasimilasi selama fotosintesis.
Selanjutnya dikatakan bahwa sumber pencemaran utama dari unsur hara adalah bagian permukaan dan bagian di bawah permukaan (subsurface) aliran air dari daerah pertanian dan perkotaan, aliran limbah ternak, seperti halnya buangan limbah cair industri dan rumah tangga termasuk aliran kotoran. Limbah-limbah ini terdiri dari bermacam-macam zat yang mengandung nitrogen dan fosfor. Sebagai contoh, nitrogen terdapat dalam bentuk nitrogen organik, amoniak, nitrit, nitrat yang diturunkan dari protein, asam nukleat, urea dan zat-zat lainnya. Senyawa fosfor dihasilkan dari degradasi senyawa seperti asam nukleat dan fosfolipid serta dalam bentuk fosfat anorganik. Fosfor juga dapat berasal dari pembentuk fosfat di dalam detergen. Ini dapat siap dihidrolisis untuk menghasilkan ortofosfat yang siap diasimilasi oleh tumbuh-tumbuhan. Sumber utama nitrogen dan fosfor dalam daerah perairan dihasilkan dari produksi makanan atau limbah dalam bentuk aliran air kotor.

IV.                  DAMPAK EUTROFIKASI TERHADAP BIOTA AIR

Connell dan Miller (1995) menguraikan 3 perubahan ekosistem yang disebabkan oleh pengkayaan unsur hara dan eutrofikasi yaitu: Perubahan dalam metabolisme komunitas, Perubahan populasi dan komunitas dengan pengkayaan unsur hara, ciri-ciri kriteria untuk keadaan tropik.
Menyangkut  pengaruh eutrofikasi terhadap perubahan populasi dan komunitas,  dalam Connel dan Miller (1995) dikatakan bahwa dengan adanya fitoplankton di dalam danau terdapat suatu perubahan musiman pada komposisi komunitas yang berhubungan dengan suhu, cahaya dan faktor musiman lainnya. Welch (1980) dalam Connel dan Miller (1995) menyatakan bahwa di daerah beriklim sedang, umumnya Diatomae mendominasi pada saat musim semi, ganggang hijau pada musim  panas, ganggang biru hijau pada akhir musim panas dan mungkin diatomae pada akhir musim gugur. Namun terdapat keragaman yang dapat diduga dalam pola ini, karena fitoplanklton yang berbeda juga memiliki dinamika yang berbeda dan kebutuhan-kebutuhan terhadap nitrogen, fosfor, karbondioksida serta faktor lainnya, yang menghasilkan perubahan dalam komposisi komunitas dengan meningkatnya eutrofikasi. Perubahan yang mencolok dengan meningkatnya unsur hara adalah ganggang biru-hijau (Cyanophyceae) meningkat menjadi dominan.
Sementara itu Suriawirya (1995) mengatakan bahwa dalam mikrobiologi air, beberapa jasad tertentu dapat dijadikan jasad parameter / indikator alami terhadap kehadiran pencemaran oganik. Misalnya bakteri Sphaerotilus sebagai petunjuk kandungan senyawa organik tinggi dalam air. Mikroalga Anabaena dan Mycrocystis dapat menjadi petunjuk untuk kehadiran senyawa fosfat yang tinggi.
Pengaruh utama dari meningkatnya eutrofikasi pada ikan adalah  disebabkan oleh berkurangnya oksigen yang terlarut. Berkembangnya ganggang beracun pada umumnya meningkat dengan meningkatnya eutrofikasi. Hal ini dapat menyebabkan kematian sejumlah besar mahluk hidup air dan hewan daratan yang menggunakan air (Connel dan Miller, 1995).
V.     KESIMPULAN / PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.        Eutrofikasi adalah suatu proses yang terjadi karena danau semakin kaya oleh unsur hara. Hal ini dapat terjadi secara alami atau secara buatan karena campur tangan manusia.
2.        Ada beberapa unsur hara yang menyebabkan kesuburan danau, namun yang berperan utama dalam proses eutrofikasi adalah Nitrogen dan Fosfor yang berasal dari: produksi alami, limbah rumah tangga, erosi, limbah ternak, pupuk dan penguraian bahan organik.
3.        Eutrofikasi dapat menyebabkan: Ledakan populasi ganggang, berkembangnya gulma air, deoksigenasi dan kematian ikan serta mempercepat pengotoran air (berlumpur) dan pendangkalan air danau. 

DAFTAR PUSTAKA
Chiras, D.D., 1988. Environmental Science- A Framework for Decicion Making. The Benjamin / Cumming Publishing comp, INC
 Connell, D.W., dan Miller, G.J. 1985. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran,
Cole, G.A., 1979. Textbook of Limnology. McGraw-Hill Book Company. New York USA.
Michael, P., 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang Dan Laboratorium. UI Press Jakarta
Odum, E.P., 1971. Dasar-dasar Ekologi. Gajah Mada University Press.
Sastrawijaya, A.T.1986. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta Jakarta.
Soeriaatmaja, R.E., 1981. Ilmu Lingkungan. ITB Bandung
Suriawirya, U., 1995. Mikrobiologi Air.  Alumni Bandung.
Suseno, H., 1974. Fisiologi Tumbuhan, Metabolisme Dasar. Dept. Botani IPB Bogor.
Thohir, K.A. 1991. Butir-butir Tata Lingkungan. Rineka Cpta Jakarta

Menelusuri Problema Danau Tondano



“Pendangkalan, Eutrofikasi dan Eceng Gondok”

Oleh: Meidy Tinangon



  • ·         Trend penurunan kedalaman / pendangkalan danau Tondano

Dari berbagai sumber Daerah Aliran Sungai (DAS) Danau Tondano memiliki manfaat besar pada upaya pemenuhan kebutuhan manusia, seperti sumber air bersih melalui PDAM ke Kota Manado sebanyak 25.296 pelanggan. Kemudian sumber distribusi listrik PLTA Tonsea Lama sekitar 14,4 Megawatt (MW), PLTA Tanggari Satu 18 MW, PLTA Tanggari II 19 MW, PLTA Sawangan 16 MW. Di sektor perikanan ada produksi ikan sekitar 534 ton. Bahkan bisa menyuplai air ke 3.000 hektar sawah padi diseputaran danau tersebut serta bisa dimanfaatkan pada sektor wisata.
Namun demikian fungsi yang dwemikian besar tersebut, saat ini menjadi terancam akibat berbagai masalah yang dialami danau Tondano. Salah satu persoalan yng mengemuka saat ini adalah pendangkalan danau Tondano. Dari berbagai sumber,  penurunan kedalaman danau Tondano dapat dilihat di bawah ini.

Tahun
Kedalaman Maksimal
Analisis penurunan
1934
40 m
·         Tahun 1934-1974:
Selama 40 tahun  , penurunan sebesar 12 m. Berarti rata-rata penurunan per tahun adalah = 12 m / 40 thn = 0,3 m (30 cm);  atau penurunan setiap 10 tahun = 12/4 = 3 m.
·         Tahun 1974-1983
Selama 9 tahun, penurunan sebesar 1 m. Rata-rata penurunan per tahun= 0,11 m (11 cm)
·         Tahun 1983-1987
Dalam kurun waktu 4 tahun  terjadi penurunan 7 m atau  penurunan per thn = 1,75 m (175 cm)
·         Tahun 1987-1992
Dalam kurun waktu 5 tahun, terjadi penurunan 4 m. Penurunan per tahun = 0,8 m (80cm)
·         Tahun 1992-1996
Dalam 4  tahun, penurunan hanya 1 m. Per tahun = 0,25 m/thn (25 cm)
1974
28m
1983
27 m
1987
20 m
1992
16 m
1996
15 m


Perubahan Kedalaman Danau Tondano
Nampak bahwa ada perbedaan rentang penurunan kedalaman pada setiap masa. Diduga hal ini disebabkan oleh faktor pemanfaatan ruang dan manajemen ekosistem. Misalnya dipengaruhi oleh berkurangnya luas hutan, masa budidaya cengkih dan masa keemasannya di tahun 1970-an sampai 1980-an. Juga ketika tanaman ini mulai dibiarkan tak terawat disaat harganya anjlok. Pada era 1995 ke atas pengaruh penting lainnya adalah pemeliharaan ikan dengan sistem keramba kemudian jaring tancap yang memproduksi sedimen dari cangkang moluska (jenis renga, kelombi dll).

Jika  dihitung dari data awal yang ada yaitu tahun 1934(40m)  hingga data terakhir tahun 1996 (15m), maka penurunan selama 52 tahun sebesar 25 m, atau rata-rata penurunan per tahun adalah 25 m/ 52 thn = 0,48 m atau 48 cm.

Yang perlu diperhatikan adalah pada tahun 1996, kehadiran gulma air Eceng Gondok (Eichornia crassipes) belum seperti sekarang ini. Artinya capaian kedalaman 15 m waktu itu belum terlalu dipengaruhi oleh pertumbuhan eceng gondok. Nah, jika kedalaman saat ini setelah 15 tahun dari 1996 telah banyak dipengaruhi oleh eceng gondok, bisa saja penurunan kedalaman per tahun bukan hanya  48 cm tetapi lebih dari itu.

Jika pun faktor eceng gondok kita abaikan, dengan mengambil perhitungan penurunan kedalaman  48 cm / tahun maka penurunan kedalaman danau tahun 2011 (15 tahun setelah 1996) dapat diprediksi menjadi 15 thn  x 48 cm = 720 cm atau 7,20 m. Ini berarti kedalaman danau diprediksi telah berkurang 7,2 m dan tertinggal berkisar pada angka 7,8 m ! berapa lama lagi waktu yang diperlukan untuk menghapus danau Tondano yang dalamnya tinggal 7,8 m itu dari peta ? (meskipun perlu data empirik terakhir, ini hanya perhitungan kasar saja).

Jika penurunannya tetap 0,48 m per tahun, maka waktu yang dibutuhkan tinggal 16 ¼  tahun dari sekarang. Berarti prediksi matematis ini, memprediksi bahwa pada tahun  2027  kedalaman danau tinggal 0 m dan danau tondano bukan lagi danau, tetapi berubah wujud menjadi rawa bahkan daratan. Ini mungkin saja terjadi jika kita hanya tinggal diam. Simpelnya, cobalah biarkan eceng gondok tumbuh subur tak diangkat, pasti dalam 1 – 2 tahun seluruh danau telah ditumbuhi eceng gondok yang lama-lama akan semakin menjadi penyebab pendangkalan dan penjebak lumpur....

Dampak Pendangkalan
Dampak pendangkalan danau, telah dan sedang dirasakan oleh masyarakat saat ini.  Banjir yang dialami oleh masyarakat di beberapa desa pinggiran danau maupun sungai Tondano adalah salah satu contoh aktual dari terjadinya pendangkalan danau. Meskipun pendangkalan danau bukanlah satu-satunya faktor penyebab banjir, namun berkurangnya kapasitas tampung wadah danau atau sungai akibat pendangkalan yang pasti menyebabkan peluapan air ketika jumlah input / masukan air lebih besar dibanding kapasitas tampung dan kemampuan pembuangan, yang diperparah oleh penahanan air di pintu air PLN tonsealama.

Dalam jangka panjang pendangkalan sebagai bagian dari proses suksesi danau akan merubah fisiografi dan karakteristik habitat dari ekosistem danau menjadi rawa berlumpur dan kemudian daratan.

Penyebab Pendangkalan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan  terjadinya pendangkalan yang pada prinsipnya merupakan peristiwa sedimentasi atau pengendapan partikel padat seperti lumpur di dasar danau dansungai.  Faktor penyebab tersebut adalah:
1.      Erosi tanah permukaan . Tanah di pegunungan / daratan sekitar danau terkikis disaat hujan. Tingkat erosi semakin besar karena daerah penyangga seperti hutan semakin kritis. Data tahun 2001, keadaan hutan di DAS Tondano tinggal 8,75 % .
2.      Sedimentasi organik seperti oleh tumbuhan air Arakan (Hydrilla verticilata)  dan Eceng Gondok (Eichornia crassipes). Tumbuhan air ini jika mati akan menumpuk dan mengendap di dasar danau. Apalagi proses pengendalian secara fisik dilakukan kurang sempurna dimana eceng gondok yang di angkat hanya dibiarkan di tepi danau. Akibatnya terjadi percepatan pembentukan rawa dan daratan di beberapa tempat di tepi danau. Hal ini bukan saja menyebabkan pendangkalan tetapi sekalian menyebabkan penyempitan danau.
3.      Pembuangan sampah. DanauTondano masih menjadi tempat yang empuk untuk tempat pembuangan sampah baik secara langsung ke badan air danau atau melalui sungai yang bermuara di danau Tondano.
Faktor mana yang lebih besar mempengaruhi proses sedimentasi, butuh kajian lebih lanjut. Namun demikian, eceng gondok punya potensi yang tak bisa terhalang oleh waktu dan kondisi musim. Baik musim hujan maupun panas, tumbuhan ini tetap tumbuh subur di danau yang semakin subur lewat proses penyuburan danau (eutrofikasi). Jadi baik di musim panas maupun  hujan tumbuhan ini berpotensi mempercepat laju pendangkalan danau. Sementara erosi tanah, lebih kentara di musim hujan.


  • Eceng Gondok, Eutrofikasi, Pendangkalan dan Penyempitan Danau

Sejak kapan tumbuhan air (aquatic plants) eceng gondok menempati habitat barunya yaitu danau Tondano ? Dari penelusuran data yang ada, Eceng Gondok (Eichornia crassipes) belum ditemukan oleh peneliti sampai tahun 1995. Data perubahan komposisi tumbuhan air dari beberapa peneliti menunjukan  adanya perubahan komposisi jenis tumbuhan air di danau Tondano.
1.      Data dari Rondo (1977), dan Soerjani dkk, (1979) menyatakan komposisi tumbuhan air sebagai berikut: Pistia stratiotes, Spirodela polyrhiza, Azolla piƱata, Lemna minor, Ceratophylum demersum, Hydrilla verticillata, Najas indica, dan Potamogeton malaianus. 
2.      Sementara hasil penelitian Tamanampo dkk (1995) melaporkan komposisi spesies yang hanya terdiri dari 6 spesies yaitu: P. malaianus, H. verticillata, C. demersum, dan N. indica, P. stratiotes, Ludwigia adscendens.
3.      Penelitian Tinangon, (1999) selain ke enam jenis di atas, ditemukan juga polygonum sp., Ipomea aquatica, Eichornia crassipes, dan Paspalum sp.
Data terakhir di atas, menjadi catatan karena selain masuknya eceng gondok dalam daftar spesies tumbuhan air di danau Tondano, eceng gondok langsung menempati urutan pertama dalam hal kerapatan / biomassa sehingga menjadi tumbuhan air yang dominan sejak saat itu atau di kisaran tahun 1996 ke atas.

Eceng gondok termasuk tanaman yang “rakus” sehingga sangat senang tumbuh di daerah yang banyak makanannya (nutrien) berupa unsur-unsur hara terutama Nitrogen (N) dalam bentuk nitrat (NO3), amoniak (NH3) dan Fosfor (P) dalam bentuk fosfat/orthofosfat (PO4). Semakin banyak senyawa-senyawa tersebut, maka semakin subur suatu danau. Ini berarti tingkat eutrofikasi semakin tinggi.
Sumber pencemaran utama dari unsur hara adalah bagian permukaan dan bagian bawah permukaan (subsurface) aliran air dari daerah pertanian dan perkotaan, aliran limbah ternak, seperti halnya buangan limbah cair industri dan rumah tangga termasuk aliran kotoran.  Limbah-limbah ini terdiri dari bermacam-macam zat yang mengandung nitrogen dan fosfor. Sebagai contoh, nitrogen terdapat dalam bentuk nitrogen organik, amoniak, nitrit, nitrat yang diturunkan dari protein, asam nukleat, urea dan zat-zat lainnya. Senyawa fosfor dihasilkan dari degradasi senyawa seperti asam nukleat dan fosfolipid serta dalam bentuk fosfat anorganik. Fosfor juga dapat berasal dari pembentuk fosfat di dalam detergen. Ini dapat siap dihidrolisis untuk menghasilkan ortofosfat yang siap diasimilasi oleh tumbuh-tumbuhan. Sumber utama nitrogen dan fosfor dalam daerah perairan dihasilkan dari produksi makanan atau limbah dalam bentuk aliran air kotor.  Di danau Tondano, sumber-sumber nutrien tersebut adalah: erosi permukaan tanah, sisa-sisa pupuk dan deterjen, sisa pakan ikan, limbah ikan serta penguraian tumbuhan dan hewan air yang mati.
 Data terakhir yang sempat dihimpun mengenai konsentrasi nitrat dan fosfat adalah hasil survey M. Tinangon akhir tahun 2009 yang mendapati hasil sebagai berikut, dimana nilai tersebut menunjukan bahwa danau Tondano telah masuk dalam kelompok DANAU EUTROFIK atau Danau yang tingkat kesuburannya sangat tinggi dengan demikian telah terjadi pencemaran nutrien di Danau Tondano:
Range / kisaran konsentrasi nitrat dan fosfat untuk masing-masing stasiun penelitian (Tinangon, 2009)
Stasiun
Range / Kisaran Konsentrasi
Nitrat (mg/L)
Fosfat (mg/L)
I (Eris)
0,75 – 1,08
0,015 – 0,290
II (Kakas)
1,36 - 3,96
0,050 – 0,570
III (Remboken)
2,08 – 2,97
0,225 - 0,360
IV (Toulour)
2,51 – 5,25
0,410 – 1,017

Danau yang demikian subur ini telah mendukung kehidupan flora akuatik berbentuk fitoplankton (tumbuhan air hijau bersifat mikro dan melayang di perairan danau). Survey Tinangon (2009) , kelimpahan fitoplankton mencapai 3646 sel/Liter. Jadi dalam 1 liter air danau terdapat 3646 sel fitoplankton ! Fitoplankton adalah juga pengguna nitrat dan fosfat, selain itu jika mati akan meberikan kontribusi kembali pada penyuburan danau disaat tumbuhan ini terdekomposisi. Seperti halnya juga eceng gondok.
            Potensi sumber pencemar nutrien di danau Tondano, menurut Tinangon (2009) “Analisis Nitrat dan Fosfat serta Struktur Komunitas Fitoplankton sebagai indikator eutrofikasi pada ekosistem danau Tondano”, adalah:
Karakteristik bagian danau
Sumber-sumber Nutrien (N dan P)
Daerah budidaya ikan
·  Sisa pakan ikan ; Limbah ikan budidaya
·  Limbah rumah tangga
·  Erosi permukaan daratan; Penguraian tumbuhan dan fitoplankton yang mati
Daerah pertanian
·  Sisa pupuk
·  Aliran sedimen dari sungai
·  Kotoran ternak itik
·  Penguraian sisa tanaman dan fitoplankton
Daerah pariwisata dan pemukiman
·  Limbah dari objek wisata
·  Limbah rumah tangga termasuk detergen
·  Limbah ternak dan pertanian dari daratan yang masuk melalui sungai
·  Penguraian sisa tanaman dan fitoplankton
·  Sisa pakan ternak
Daerah Outlet (aliran keluar air)
·  Dekomposisi tumbuhan air yang melimpah
·  Daerah pertanian sekitar (pupuk)
·  Aliran bahan organik dari perairan sekitar
·  Penguraian fitoplankton

Kehadiran eceng gondok  berperan juga dalam pendangkalan danau, karena jika tumbuhan ini mati  maka dia akan menumpuk cukup lama di dasar danau sebelum akhirnya hancur dan terurai. Disamping itu, tumbuhan ini juga menjadi semacam “perangkap lumpur”. Kehebatan eceng gondok, apalagi dengan sistem pengendalian yang kurang baik karena hanya dibiarkan di tepi danau, akan sangat berpotensi membentuk rawa dan daratan baru di tepi danau sehingga menyebabkan penyempitan danau. Penguapan oleh eceng gondok disaat musim panas juga menjadi masalah karena diduga cukup signifikan mengurangi volume air di musim panas.



  • CONTROL BY USE: Alternatif Solusi Untuk Eceng Gondok

Salah satu solusi alternatif bagi pengendalian eceng gondok adalah pengendalian dengan pemanfaatan (Control by Use / CBU). Maksudnya, eceng gondok dikendalikan populasinya dengan cara diangkat dari permukaan air secara masif dan rutin, kemudian di bawa ke tempat penampungan untuk diolah menjadi bahan kerajinan, biogas, pupuk bahkan pakan ternak. Jadi, disamping dikendalikan populasinya, masyarakat dan pemerintah mendapatkan nilai tambah, sehingga masalah bisa dirubah menjadi peluang secara cerdas.

Penanganan selama ini, hanya menghilangkan eceng gondok secara sementara saja dan memberikan dampak yang kurang baik. Eceng gondok yang dibiarkan di tepi danau, bisa kembali bertumbuh secara vegetatif dengan stolonnya. Disamping itu menyebabkan pendangkalan dan pembentukan daratan di tepi danau. Pengangkatan juga sebagiknya dilakukan disaat sebelum tumbuhan ini berbunga untuk mencegah penyebaran benih / spora eceng gondok yang bisa mencapai ribuan bakal tanaman pada setiap indibidu yang telah berbunga.

(penulis, Pengajar Ekologi FMIPA UKIT, Ketua Gerakan Minahasa Muda)