Ayo lawan COVID-19: StayAtHome-Jaga Jarak-Hindari Kerumunan-Pakai Masker-Jaga Kondisi Tubuh
Tampilkan postingan dengan label EKOSISTEM DANAU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label EKOSISTEM DANAU. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 Agustus 2013

Sorga Kehidupan Terkubur di Bawah Lapisan Es

Terkubur 3.700 meter di bawah permukaan es, mungkinkah ada kehidupan ? Yah, Danau Vostok, yang berada ribuan meter di bawah lapisan es, sebelumnya diklaim tak memiliki kehidupan, namun data terbaru seperti diberitakan KOMPAS.com ternyata tak seperti itu. Berikut kutipan berita Sains-Kompas.com.
Danau Vostok (Sains-Kompas.com)

KOMPAS.com — Ada surga kehidupan yang terkubur di bawah lapisan es Antartika. Danau Vostok yang berlokasi di Antartika dan terkubur ribuan meter di bawah lapisan es, berdasarkan riset terbaru, diduga merupakan lingkungan yang kaya dan beragam, bahkan diklaim memiliki ikan.

Beradasarkan analisis bahan genetik, para peneliti menduga adanya lebih dari 3.500 bentuk kehidupan yang berbeda pada danau yang sebelumnya dianggap "tidak ramah" bagi makhluk hidup ini.

Danau Vostok adalah danau sub-glasial terbesar di Bumi yang terkubur di bawah 3.700 meter di bawah lapisan es. Danau ini menempati urutan ketujuh sebagai danau dengan volume terbanyak dan urutan keempat untuk danau terdalam.

Para ilmuwan lama percaya bahwa lingkungan danau yang gelap dengan suhu dingin dan panas (dari ventilasi hidrotermal) serta mendapatkan tekanan dari es glasial yang ada di atasnya tidak memungkinkan adanya bentuk kehidupan.

Namun, analisis potongan es yang diambil dari cekungan utama bagian selatan dan pada ujung barat daya Danau Vostok memberikan bukti baru.

Tim peneliti Bowling Green State University yang dipimpin oleh Yury M Shtarkman dan Zeynep A Kocer berhasil mengumpulkan 3.507 rangkaian RNA dan DNA, fragmen sel dan virus, serta mengidentifikasi jenisnya dari 1.623 rangkaian.

"Kompilasi hasil menunjukkan bahwa organisme hidup dan bereproduksi di Danau Vostok," tulis mereka dalam hasil studi yang diterbitkan dalam jurnal PLoS ONE pada Rabu (3/7/2013).

Dari sejumlah rangkaian yang teridentifikasi, 94 persen di antaranya adalah milik bakteri, sementara sisanya adalah makluk yang memiliki membran inti sel, disebut eukaryota, mencakup jamur, alga, dan lainnya.

Analisis lebih lanjut menunjukkan, rangkaian DNA merupakan milik makhluk hidup dengan habitat beragam, mulai yang hidup di danau, air payau, tanah, dan sedimen laut dalam.

Diuraikan BBC, Senin (8/7/2013), bakteri pemilik rangkaian bahan genetik yang ditemukan bersimbiosis dengan hewan maupun yang merugikan. Bakteri tersebut juga berasosiasi dengan anemon laut, cacing bersegmen, dan lainnya.

Ilmuwan juga menduga adanya bakteri yang hidup di lingkungan panas dekat ventilasi hidrotermal. Ventilasi hidrotermal, bila memang ada, akan menjadi sumber energi bagi makhluk hidup danau lainnya.

Berdasarkan bahan genetik yang ditemukan, Danau Vostok mungkin juga tak cuma memiliki mikroorganisme, tetapi juga organisme kompleks seperti ikan.

"Indikasi tambahan adanya hewan berasal dari adanya beberapa sequence bahan genetik yang merujuk pada bakteri anggota Enterobacteriaceae," jelas para peneliti seperti dikutip CBSNews, Selasa (9/7/2013).

"Ini mencakup sequemce dari spesies E coli, Erwinia, Klebsiella, Salmonella, dan Shigella, yang semuanya ditemukan di sistem pencernaan ikan dan hewan air lainnya," tambah peneliti.

Bila dikonfirmasi kebenarannya dengan penemuan makhluk hidup secara langsung, temuan ini akan memberikan harapan pada adanya makhluk hidup di luar Bumi.

Kondisi seperti Danau Vostok juga terdapat di tempat lain, seperti bulan Jupiter, Europa. Ada lautan di bawah permukaan yang mungkin juga menyimpan kehidupan.

Meski demikian, hasil penelitian ini juga perlu dikritik. Material genetik yang ditemukan bisa jadi merupakan kontaminasi dari masa lalu. (Dyah Arum Narwastu)

Kamis, 14 Februari 2013

Peran Pemkab dan DPRD dalam Pelestarian Danau Tondano

Oleh : Yanny Y.A.G. Marentek, S.Th.
(Angg FPG DPRD Kab Minahasa 2009-2014; Ketua Badan Legislasi DPRD Kab Minahasa)

§  Introduksi
Danau Tondano disadari merupakan bagian vital kehidupan dan penghidupan masyarakat, bukan saja di Kabupaten Minahasa tetapi di Sulawesi Utara pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh mulitifungsi Danau Tondano yang memegang peran vital dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut meliputi: sebagai sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, pengairan bagi pertanian, objek wisata, tempat cuci-mandi, tempat berolahraga, sumber gizi masyarakat, sumber energi listrik melalui PLTA juga sebagai sumber air minum bagi sebagian masyarakat di Kota Manado melalui pengolah PDAM / PT Air Manado. Bagi kalangan ilmuwan, Danau Tondano merupakan objek penelitian.
Dengan fungsi-fungsi yang vital tersebut, maka adalah wajar jika banyak pihak memberikan reaksi ketika menyaksikan Danau Tondano mengalami berbagai masalah lingkungan. Dimaklumi bahwa sebagai warga masyarakat, pasti tidak menghendaki Danau Sumber kehidupan dan berkat akan kehilangan fungsinya.
Masalah – masalah yang dihadapi Danau Tondano, sebenarnya membutuhkan perhatian dari banyak pihak yang memangku kepentingan, namun pada kesempatan ini akan coba dibahas sejauh mana peran pemerintah selaku pihak eksekutif dan DPRD Kabupaten Minahasa selaku pihak legislatif. 

Selasa, 05 Februari 2013

EUTROFIKASI: Problema Ekologis pada Ekosistem Danau

juga terpublikasi 16 Agustus 2011 di

by. Meidy Y. Tinangon, M.Si.
I.               PENDAHULUAN

Danau adalah salah satu ekosistem enting karena fungsinya bagi masyarakat.Diantaranya danau sering dimanfaatkan sebagai: sumber air minum , penangkapan budidaya ikan, tempat cuci mandi, objek wisata dan lain sebagainya. Namun, seperti halnya ekosistem lainnya di muka bumi ini, danau tetap saja tidak bebas dari gangguan serta permasalahan ekologis
Diantara masalah yang menarik serta perlu mendapat perhatian serius adalah masalah  eutrofikasi  (pengkayaan unsur hara). Proses ini sebenarnya sifatnya agak alami dimana terdapat masukan unsur hara dalam danau karena peristiwa-peristiwa dalam danau tersebut. Dalam situasi alami tersebut, maka proses eutrofikasi dapat dikatakan berlangsung lambat dan dalam keadaan seimbang. Namun menjadi masalah ketika campur tangan manusia lewat berbagai aktifitas pemanfaatan danau mulai mempengaruhi ekosistem danau. Proses ini kemudian dikenal sebagai eutrofikasi kultural.

Unsur hara sangat berperan dalam meningkatnya  eutrofikasi. Connell dan Miller (1995) mengatakan bahwa tubuh air dengan sedikit aliran air, seperti danau, bendungan, laut tertutup, dan sebagainya, menjadi eutrofik melalui pengkayaan unsur hara dalam jangka waktu yang lama. Aktifitas pemanfaatan danau dan ekosistem sekitar untuk berbagai keperluan, memberi peluang bagi semakin tingginya tingkat eutrofikasi pada ekosistem danau.
Bahaya dari proses eutrofikasi boleh dikatakan sangat besar dan mengancam keberlanjutan (sustainable) dari ekosistem tersebut termasuk manusia sebagai pengguna ekosistem danau. Eutrofikasi bukan hanya samapai pada proses semakin kayanya ekosistem danau oleh unsur hara, tetapi menyangkut masalah yang lebih luas yaitu dampak yang ditimbulkan oleh unsur hara yang semakin kaya. Dengan kondisi unsur hara yang melimpah maka fenomena ekologis seperti blooming ganggang dan kemudian gulma air (aquatic weeds), pendangkalan danau dan masalah deoksigenasi serta penurunan kesehatan danau akan dengan mudah ditemui.
Namun demikian, karena dampaknya yang tidak secara langsung dirasakan dan terjadi lewat suatu pproses yang memakan waktu sehinggga eutrofikasi sering disepelekan dalam program pengendalian dampak lingkungan. Berbeda dengan masalah pencemaran yang lain yang dapat langsung dirasakan dampaknya misalnya menyebabkan kematian.
Disadari bahwa kurangnya perhatian terhadap masalah eutrofikasi, disebabkan karena informasi tentang eutrofikasi itu sendiri yang kurang di ekspose pada masyarakat dan pemerintah. Untuk itu maka perlu ada kajian ilmiah yang nantinya akan mendeskripsikan apa dan bagaimana proses eutrofikasi tersebut. Nantinya informasi tersebut dapat disampaikan kepada pihak yang berkompeten.

II.            DEFINISI DAN PROSES EUTROFIKASI

Menurut Connell dan Miller (1995), Eutrofikasi diperikan pertama kali oleh Weber pada tahun 1907 ketika ia memperkenalkan istilah oligotrofik, mesotrofik dan eutrofik (Hutchinson, 1969). Istilah ini memerikan proses eutrofikasi sebagai suatu rangkaian proses dari sebuah danau yang bersih menjadi berlumpur oleh pengkayaan unsur hara tanaman dan meningkatnya pertumbuhan tanaman. Sejak saat itu, terdapat banyak pemerian dan kriteria untuk istilah ini serta pengenalan istilah baru tersebut semakin berkembang.
 OECD telah mencirikan eutrofikasi sebagai “pengkayaan unsur hara pada air yang menyebabkan rangsangan suatu perubahan yang simpomatik yang meningkatkan produksi ganggang dan makrofit, memburuknya perikanan, memburuknya kualitas air dan perubahan simpomatik lainnya yang tidak dikehendaki serta mengganggu penggunaan air”  (Wood, 1975 dalam Connell dan Miller, 1995).
Akumulasi alami dari nutrien dalam danau disebut eutrofikasi alami (natural eutrophication). Akumulasi nutrien dan erosi alami dapat dengan waktu yang sufisien, mentransformasi danau kedalam tanah rawa dan kemudian tanah kering, sebuah proses yang disebut suksesi alami (natural succesion). Dalam proses ini nutrien inorganikmerangsang pertumbuhan tanaman; tumbuhan suatu saat mati dan menyumbang sedimen organik kedalam dasar danau (Chiras, 1988).
Dalam proses eutrofikasi alamiah, detritus tanaman, garam-garaman, pasir dan sebagainya dari suatu daerah aliran masuk dalam aliran air dan disimpan dalam badan air selama waktu geologis. Ini menyebabkan pengkayaan unsur hara, sedimentasi, pengisian dan peningkatan biomassa (Connell dan Miller, 1988).  
Danau-danau oligotrofik secara tiba-tiba menjadi lebih kaya atau eutrofik dengan tertimbunnya zat-zat makanan pada saat mereka menjadi lebih tua. Di alam eutrofikasi menghasilkan suatu keseimbangan dan ini dapat dilihat dengan perbedaan susunan komunitas pada tubuh air oligotrofik dan eutreofik. Pada air eutrofik alami, plankton berlimpah, perkembangan ganggang merupakan hal yang umum. Terdapat imbangan yang baik pada bahan-bahan organik baik dalam larutan maupun pada dasarnya. Eutrofikasi menjadi sebuah masalah jika disebabkan oleh campur tangan manusia, karena hal-hal yang seperti inilah jangka waktu menjadi berkurang sehingga keseimbangan secara sehingga keseimbangan secara alami berkurang (Michael, 1994).
Eutrofikasi buatan sebagai hasil kegiatan manusia menambah kekurangan oksigen dalam zone profundal. Jadi ikan yang stenotermal, yang dapat bertahan pada suhu rendah, hanya hidup dalam danau “miskin”, dimana air di bagian dalam yang dingin tidak kekurangan oksigen. Jenis-jenis seperti ini adalah yang pertama kali menghilang di Great Lakes di Amerika serikat. Organisme rendah (berlawanan dengan ikan) dari zone profundal beradaptasi untuk tahan terhadap kekurangan oksigen dalam jangka waktu yang panjang (Odum, 1991).
Diutarakan juga oleh Conell dan Miller (1988), bahwa kegiatan manusia sangat mempengaruhi pengkayaan unsur hara dan eutrofikasi. Pada kenyataanya, dalam waktu 100 tahun terakhir banyak danau yang memperlihatkan pengkayaan unsur hara sangat cepat yang disebabkan oleh pencemran. Buangan,  seperti limbah rumah tangga, aliran dari bak penampungan kotoran, beberapa limbah industri, aliran dari perkotaan, aliran dari pertanian dan pengelolaan hutan, serta limbah hewan mengandung unsur hara tanaman yang seringkali menyebabkan pengkayaan unsur hara dan mempercepat eutrofikasi.
Menurut Michael (1994), pengaruh terbesar eutrofikasi terlihat pada air-air yang tenang, hasil yang nyata adalah suatu perkembangan ganggang. Seringkali lapisan ganggang dan kotoran bebek menutupi seluruh permukaan yang menyebabkan deoksigenasi pada air-air dibawahnya dimana fotosintesis berhenti disebabkan putusnya pencahayaan oleh lapisan ganggang. Pada saat ganggang ini mati dan terurai, terjadi  penurunan oksigen yang terurai lebih lanjut.

III.  DANAU DAN TINGKAT EUTROFIKASI
Danau dapat diklasifikasikan berdasarkan produktifitas primernya. Produktifitas atau kesuburan danau tergantung pada nutrisi yang diterimanya dari perairan regional, pada usia geologis dan pada kedalaman. Berdasarkan produktifitas, danau dibagi atas danau oligotrofik dan eutrofik. Danau oligotrofik biasanya dalam, dengan hipolimnion lebih besar dari epilimnion, dan mempunyai produktifitas primer rendah. Tanaman di daerah littoral jarang  dan kerapatan plankton rendah, walaupun jumlah jenis yang ada mungkin tinggi. Danau eutrofik adalah lebih dangkal  dan  produktifitas primernya lebih tinggi, vegetasi littoral lebih lebat dan populasi plankton lebih rapat (Odum, 1971).
Selanjutnya Thohir (1991) dan Soeriaatmaja (1981) mengungkapkan fase-fase perkembangan kehidupan di danau, yang terdiri dari: oligotrofi, mesotrofi, eutrofi dan distrofi. Danau oligotrofi, keadaan airnya jernih, bahan organik yang dikandung sedikit, kerapatan hewan dan tumbuhan rendah, suhu air relatif rendah, bahan makanan sedikit tetapi kaya oksigen. Danau oligotrofi lama kelamaan akan meningkat aktifitas biologisnya dan menjadi danau mesotrofi, dimana air menjadi lebih keruh, produksi bahan organik bertambah, kesuburan danau lebih tinggi namun belum mencapai kesuburan optimal. Jika kesuburan danau telah mencapai titik optimal, danau tersebut disebut danau eutrofi.
 
III.  UNSUR HARA PENYEBAB EUTROFIKASI
Hara makanan tumbuhan merupakan salah satu kelompok pencemar di perairan . Senyawaan ini biasanya kaya akan nitrogen dan fosfor serta menstimulasi pertumbuhan tanaman secara berlebihan (Connell dan Miller, 1998).  Menurut Michael (1995), pertanyaan tentang apakah fosfat atau nitrogen yang mepunyai pengaruh paling serius terhadap eutrofikasi, tetap diperdebatkan, tidak diragukan lagi bahwa keduanya memberikan sumbangan yang khas.
Ketersediaan nitrogen dan fosfor bagi tanaman yang sedang tumbuh bergantung pada serangkaian reaksi biologis perantara yang rumit. Nitrogen terdapat di lingkungan perairan dalam beragam bentuk dan gabungan kimiawi yang luas yang meliputi keadaan oksidasi yang berbeda. Nitrogen organik terikat pada unsur pokok sel dari makhluk hidup, sebagai contoh, purin, peptida dan asam amino, sedangkan nitrogen anorganik, sebagai contoh, amonia, nitrit, nitrat dan gas nitrogen, terlarut dalam massa air. Perubahan bentuk dalam massa air dari nitrogen anorganik menjadi nitrogen organik terjadi oleh pertumbuhan fotosintesis pada tanaman air.  Kebalikan dari proses ini menghasilkan pembentukan amonia dari bahan organik oleh sejumlah mekanisme yang melibatkan otolisis sel, jasad renik dan pembuangan dari makhluk hidup besar.  Amonia dapat hilang dari air oleh penguapan tetapi oksidasi menghasilkan nitrifikasi terutama oleh jasad renik, dan menghasilkan nitrat yang tidak dapat menguap. Nitrat dapat melakukan proses denitrifikasi yang dapat menyebabkan hilangnya gas nitrogen dan masuk ke dalam atmosfer (Brezonik 1972 dalam Connell dan Miller, 1998).  Senyawa nitrogen yang dapat diasimilasikan oleh tumbuhan, menurut Suseno (1974) dapat dibagi dalam 4 golongan besar yaitu: Nitrogen nitrat, Nitrogen Amoniak, Nitrogen Organik dan Nitrogen Molekulair (N2). Namun demikian sumber utama bagi tumbuhan yang terpenting adalah ion Nitrat.
Mengenai fosfor dikatakan oleh Connell dan Miller (1998), bahwa fosfor terdapat dalam suatu keadaan oksidasi tunggal sebagai fosfor anorganik atau fosfor organik.  Bentuk anorganik terutama adalah ortofosfat (PO43-) dan polifosfat. Bentuk organik selalu digabungkan dengan senyawaan zat selular dan sebagian besar fosfor dalam air alamiah adalah dalam bentuk organik. Bentuk anorganik, khususnya ortofosfat, siap diasimilasi selama fotosintesis.
Selanjutnya dikatakan bahwa sumber pencemaran utama dari unsur hara adalah bagian permukaan dan bagian di bawah permukaan (subsurface) aliran air dari daerah pertanian dan perkotaan, aliran limbah ternak, seperti halnya buangan limbah cair industri dan rumah tangga termasuk aliran kotoran. Limbah-limbah ini terdiri dari bermacam-macam zat yang mengandung nitrogen dan fosfor. Sebagai contoh, nitrogen terdapat dalam bentuk nitrogen organik, amoniak, nitrit, nitrat yang diturunkan dari protein, asam nukleat, urea dan zat-zat lainnya. Senyawa fosfor dihasilkan dari degradasi senyawa seperti asam nukleat dan fosfolipid serta dalam bentuk fosfat anorganik. Fosfor juga dapat berasal dari pembentuk fosfat di dalam detergen. Ini dapat siap dihidrolisis untuk menghasilkan ortofosfat yang siap diasimilasi oleh tumbuh-tumbuhan. Sumber utama nitrogen dan fosfor dalam daerah perairan dihasilkan dari produksi makanan atau limbah dalam bentuk aliran air kotor.

IV.                  DAMPAK EUTROFIKASI TERHADAP BIOTA AIR

Connell dan Miller (1995) menguraikan 3 perubahan ekosistem yang disebabkan oleh pengkayaan unsur hara dan eutrofikasi yaitu: Perubahan dalam metabolisme komunitas, Perubahan populasi dan komunitas dengan pengkayaan unsur hara, ciri-ciri kriteria untuk keadaan tropik.
Menyangkut  pengaruh eutrofikasi terhadap perubahan populasi dan komunitas,  dalam Connel dan Miller (1995) dikatakan bahwa dengan adanya fitoplankton di dalam danau terdapat suatu perubahan musiman pada komposisi komunitas yang berhubungan dengan suhu, cahaya dan faktor musiman lainnya. Welch (1980) dalam Connel dan Miller (1995) menyatakan bahwa di daerah beriklim sedang, umumnya Diatomae mendominasi pada saat musim semi, ganggang hijau pada musim  panas, ganggang biru hijau pada akhir musim panas dan mungkin diatomae pada akhir musim gugur. Namun terdapat keragaman yang dapat diduga dalam pola ini, karena fitoplanklton yang berbeda juga memiliki dinamika yang berbeda dan kebutuhan-kebutuhan terhadap nitrogen, fosfor, karbondioksida serta faktor lainnya, yang menghasilkan perubahan dalam komposisi komunitas dengan meningkatnya eutrofikasi. Perubahan yang mencolok dengan meningkatnya unsur hara adalah ganggang biru-hijau (Cyanophyceae) meningkat menjadi dominan.
Sementara itu Suriawirya (1995) mengatakan bahwa dalam mikrobiologi air, beberapa jasad tertentu dapat dijadikan jasad parameter / indikator alami terhadap kehadiran pencemaran oganik. Misalnya bakteri Sphaerotilus sebagai petunjuk kandungan senyawa organik tinggi dalam air. Mikroalga Anabaena dan Mycrocystis dapat menjadi petunjuk untuk kehadiran senyawa fosfat yang tinggi.
Pengaruh utama dari meningkatnya eutrofikasi pada ikan adalah  disebabkan oleh berkurangnya oksigen yang terlarut. Berkembangnya ganggang beracun pada umumnya meningkat dengan meningkatnya eutrofikasi. Hal ini dapat menyebabkan kematian sejumlah besar mahluk hidup air dan hewan daratan yang menggunakan air (Connel dan Miller, 1995).
V.     KESIMPULAN / PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.        Eutrofikasi adalah suatu proses yang terjadi karena danau semakin kaya oleh unsur hara. Hal ini dapat terjadi secara alami atau secara buatan karena campur tangan manusia.
2.        Ada beberapa unsur hara yang menyebabkan kesuburan danau, namun yang berperan utama dalam proses eutrofikasi adalah Nitrogen dan Fosfor yang berasal dari: produksi alami, limbah rumah tangga, erosi, limbah ternak, pupuk dan penguraian bahan organik.
3.        Eutrofikasi dapat menyebabkan: Ledakan populasi ganggang, berkembangnya gulma air, deoksigenasi dan kematian ikan serta mempercepat pengotoran air (berlumpur) dan pendangkalan air danau. 

DAFTAR PUSTAKA
Chiras, D.D., 1988. Environmental Science- A Framework for Decicion Making. The Benjamin / Cumming Publishing comp, INC
 Connell, D.W., dan Miller, G.J. 1985. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran,
Cole, G.A., 1979. Textbook of Limnology. McGraw-Hill Book Company. New York USA.
Michael, P., 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang Dan Laboratorium. UI Press Jakarta
Odum, E.P., 1971. Dasar-dasar Ekologi. Gajah Mada University Press.
Sastrawijaya, A.T.1986. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta Jakarta.
Soeriaatmaja, R.E., 1981. Ilmu Lingkungan. ITB Bandung
Suriawirya, U., 1995. Mikrobiologi Air.  Alumni Bandung.
Suseno, H., 1974. Fisiologi Tumbuhan, Metabolisme Dasar. Dept. Botani IPB Bogor.
Thohir, K.A. 1991. Butir-butir Tata Lingkungan. Rineka Cpta Jakarta

Jumat, 01 Februari 2013

Mencari Solusi Problema Lingkungan DANAU TONDANO



Oleh:
Meidy Y. Tinangon

Orang Minahasa dimanapun berada, yang sempat melihat langsung Danau Tondano, pasti  prihatin dengan kondisi danau kebanggaannya tersebut.  Secara kasat mata, danau yang menjadi salah satu ”primadona pariwisata kawanua” saat ini dipenuhi oleh salah satu spesies tumbuhan air yang dikenal sangat cepat pertumbuhannya yaitu Eceng Gondok yang dalam bahasa ilmiah (scientific name) dikenal dengan Eichornia crassipes.

Dalam laporan Tamanampo dkk peneliti dari Fakultas Perikanan Manado, Tahun 1995 Tumbuhan air yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan Water hyantich  ini belum ditemui. Komunitas tumbuhan akuatik di Danau Tondano kala itu masih didominasi oleh tumbuhan jenis arakan (Hydrilla verticilata) dan tanaman terbenam-berakar di dasar danau lainnya.
Namun survey penulis tahun 1999 (selang waktu 4 tahun) Eceng Gondok telah eksis dan menjadi spesies dominan dalam struktur komunitas tumbuhan air di Danau Tondano. Semenjak itu, perhatian pemerintah maupun masyarakat kawanua mulai diarahkan ke ekosistem kebanggaan Tou Minahasa tersebut. Berbagai wacana maupun aksi nyata telah dilakukan semua komponen terkait dengan target : selamatkan Danau Tondano, berantas Eceng Gondok !. Tetapi hingga saat   ini, torang masih berkutat dalam wacana dan aksi yang masih cenderung asal tembak, tidak sistematis dan tanpa sinergi. Hasilnya ?  Sampai saat ini Eceng Gondok masih menguasai Danau Tondano dan berarti menguasai Tou Minahasa.
Foto Udara Outlet Danau Tondano
Kalau dengan Eceng Gondok saja kita kalah bersaing, apalagi dengan kompetisi global yang semakin menggila sekarang ini ? Mungkinkah tak ada alternatif solusi untuk menanggulangi Eceng Gondok ?? Ataukah solusi ada namun hanya sampai pada konsep tanpa ada good will  untuk action ?? Mungkinkah benar stigma ”untung bibir” ternyata telah terinternalisasi dalam jiwa kita, kawanua ??

Akar Masalah
Jika kita hendak mencari solusi terhadap suatu persoalan, carilah dahulu substansi atau akar dari persoalan tersebut. Kita banyak ribut dan ”kebakaran jenggot” dengan Eceng Gondok, padahal Eceng Gondok hanyalah fenomena yang muncul oleh serangkaian persoalan yang ternyata disebabkan oleh tindakan kurang bijaksana dari Tou Minahasa sendiri. Namun karena Eceng Gondok juga menyebabkan masalah baru yang lebih kentara, maka wajar jika tumbuhan berbunga ungu ini menjadi ”sasaran tembak”. Tetapi, sekali lagi, masih ada lapis masalah yang lebih mendasar yang salah satu gejalanya adalah booming vegetasi termasuk booming Eceng Gondok.
Karena ledakan (booming) populasi Eceng Gondok hanyalah gejala dari sebuah akar masalah, maka yang harus ditelusuri adalah  kondisi apa yang menyebabkan gulma air tersebut membludak. Mengangkatnya dari danau memang merupakan salah satu cara yang dapat menanggulangi kepadatan populasi Eceng Gondok sekaligus dampak ikutannya seperti gangguan transportasi dan percepatan pendangkalan, namun hal tersebut hanyalah akan berlaku dalam jangka pendek. Selama faktor penyebab booming Eceng Gondok tak bisa ditangani, maka  pertumbuhan Eceng Gondok tetap akan kita saksikan.
Lalu, apa penyebab ledakan populasi tersebut ?
Penyebabnya adalah manusia.



Jangan kaget, jangan ”merah kuping”. Torang (kita) memang tanpa sadar menjadi trouble maker dalam problem ini. Ledakan populasi tumbuhan air merupakan tanda bahwa telah terjadi pencemaran nutrien (makanan) tumbuhan. Dalam kosakata lingkungan proses pengkayaan nutrien dikenal dengan istilah eutrofikasi. Danau yang sebelumnya miskin akan zat hara / nutrien lama kelamaan akan menjadi lebih kaya kandungan nutriennya. Proses ini sebenarnya merupakan proses alamiah yang wajar, namun menjadi tidak wajar ketika campur tangan manusia lewat berbagai aktifitasnya semakin mempercepat penambahan bahan nutrien kedalam danau. Akibatnya adalah kandungan nutrien berlebih merangsang pertumbuhan berbagai jenis alga dan tumbuhan air termasuk Eceng Gondok.
Apa yang dilakukan oleh manusia sehingga menjadi penyebab dari keterpurukan Danau Tondano ?
Tindakan manusia Minahasa yang menyebabkan semakin cepatnya proses eutrofikasi dimulai dengan penggundulan hutan di sekitar DAS Tondano. Gundulnya hutan atau terkonversinya hutan menjadi daerah pertanian dan pemukiman, menyebabkan peningkatan erosi yang membawa sedimen-sedimen mengandung nutrien tanaman (nitrogen dan fosfat) masuk ke dalam danau melalui aliran-aliran sungai.
Aktifitas pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi bagi pengkayaan nutrien di Danau Tondano, karena sisa-sisa pupuk (nutrien) juga dialirkan ke danau, terutama di lahan kebun atau sawah di sekitar danau.
Penggunaan detergen dan pembuangan sampah organik ke danau juga menyebabkan peningkatan kandungan nutrien danau ditambah lagi dengan sisa-sisa pembusukan tanaman air yang mati (apalagi disaat jumlah Eceng Gondok semakin banyak).
 Aktivitas masyarakat lainnya adalah peternakan di sekitar danau dan budidaya ikan mujair dan ikan mas dalam jaring tancap yang memberikan kontribusi nutrien melalui kotoran hewan dan sisa limbah pakan ikan.
Jadi, jelas bagi kita bahwa semua ini adalah karena kita gagal melakukan langkah-langkah ”pencegahan” dan akhirnya kita harus ”mengobati”. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati ?

Alternatif Solusi  

            Karena masalah yang dihadapi Danau Tondano tergolong masalah kompleks dan komplikatif, maka pengobatannya pun perlu menggunakan ramuan khusus. Kita ditantang untuk mengendalikan populasi Eceng Gondok dalam jangka pendek sebelum dia semakin ganas dan menggila.  tetapi juga untuk jangka panjang kita ditantang untuk mengurangi penambahan unsur hara ke danau supaya tidak terjadi pencemaran nutrien  di danau.
            Tindakan (bukan bicara) yang dibutuhkan saat ini perlu dilakukan sistematis dan simultan meliputi:
-          Pengangkatan Eceng Gondok secara besar-besaran dengan memanfaatkannya (Daun untuk pakan ternak, batang untuk kerajinan, akar dan sisa tanaman yang membusuk untuk kompos dan biogas).
-          Hijaukan kembali daerah tangkapan air (catchman area) DAS Tondano
-          Pengolahan air limbah pertanian sebelum masuk ke danau (dapat menggunakan eceng gondok).
-          Pembatasan budidaya ikan dalam jaring tancap.
-          Stop membuang sampah ke danau
-          Kurangi penggunaan detergen

Secara operasional, semua ini membutuhkan dana sehingga ditunggu komitmen Pemerintah Kabupaten Minahasa dan pemerintah provinsi Sulut. Namun demikian dibutuhkan juga peran setiap stakeholder termasuk masyarakat. jadi menjadi tanggung jawab kita juga untuk memberi kontribusi dalam “mengobati” Danau Tondano (MYT, 2007)